Hakikat dan Sejarah Tasawuf
Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh
sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari
rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen,
Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja
dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak
Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya
karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku
ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan,
paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan
objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke
substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak
mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk
membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh
Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda
pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun
penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada
dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in
tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau
jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul
fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi,
bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska
era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat
itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil.
Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan
secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme,
materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah
perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan.
Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah
perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak
meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas.
Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai
pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah
timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk
mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki
as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)
Urgensitas Tasawuf
Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa
mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada
satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud
dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati
itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat
dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri,muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai,
jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di
atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari Islam.
Tasawuf dan Tuduhan-Tuduhan Miring
Demi objektifitas, menilai apakah tasawuf
melenceng dari ajaran Islam apa tidak, kita harus melewati beberapa kriteria di
bawah ini. Dengan kriteria ini secara otomatis kita bisa mengukur hakikat
tasawuf.
Pertama sekali, penilaian harus melampaui
tataran kulit, dan langsung masuk pada substansi materi dan tujuannya.
Lantas apa substansi materi tasawuf?
Seperti dijelaskan di atas tujuan tasawuf adalah dalam rangka membersihkan
hati, mengamalkan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang jelek.
Seorang sufi dituntut selalu ikhlas, ridha, tawakal, dan zuhud - tanpa sama
sekali mengatakan bahwa kehidupan dunia tidak penting.
Kedua, Menilai secara objektif, jauh dari
sifat tendensius dan menggenalisir masalah.
Sikap ini sangat penting. Karena pembacaan
terhadap sebuah kasus yang sudah didahului oleh kesimpulan paten akan
menghalangi objektifitas, dan memburamkan kebenaran sejati.
Ketiga, memahami istilah atau terminologi
yang biasa digunakan para sufi, sehingga kita tidak terjebak kepada
ketergesa-gesaan dalam memvonis sebuah masalah.
Misalnya dalam dunia sufi dikenal istilah
zuhud. Kemudian orang sering salah mengartikan bahwa zuhud adalah benci segala
hal duniawi. Zuhud identik dengan malas kerja, dst. Padahal kalau kita teliti
dengan sedikit kesabaran tentang apa itu arti zuhud yang dimaksud para sufi,
maka kita akan menemukan bahwa zuhud yang dimaksud tidak seperti persepsi di atas.
Abu Thalib al-Maki, seorang tokoh sufi, misalnya, punya pandangan bahwa bekerja dan memiliki harta sama sekali
tidak mengurangi arti zuhud dan tawakal.
Keempat, dalam vonis hukum, kita perlu
membedakan antara hukum sufi yang mengucapkan kata-kata dalam keadan ecstasy
dan dalam keadaan sadar.
Konsep ini penting sekali, supaya kita
tidak terjebak pada sikap ekstrim seperti memvonis kafir, musyrik, fasik, dll.
Kenyataan di atas sama sekali tidak
berarti mau mengatakan bahwa sejarah sufi, putih bersih. Ada masa-masa dimana
sufi atau oknum kaum sufi melenceng dari hakikat ajaran Islam, terutama setelah
berkembangnya tasawuf falsafi.
Beberapa penyimpangan kaum sufi:
1. Menyepelekan
kehidupan duniawi
2. Terjebak
pada pola pandang jabariah
3. Mengaku-ngaku
bahwa Allah Swt telah membebaskannya dari hukum taklif, seperti shalat, puasa,
dll. Dan semua hal bagi dirinya halal.
Kesimpulan
Setelah mengetahui hakikat ajaran tasawuf di
atas jelaslah bahwa ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam.
Ia bukanlah aliran sesat. Bahwa ada penyimpang oknum atau lembaga sufi itu
tidak berarti tasawuf secara keseluruhan jelek dan sesat. Kita jangan
sekali-kali terjebak apad generalisir masalah. Karena sejatinya, tokoh-tokoh
sufi berpendapat ajaran tasawuf harus bersendikan al-Qur\'an dan Hadis. Diluar
itu ditolak!
Tasawuf, seperti dinyatakan Syeikh Yusuf
al-Qaradhawi, adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Karena misi
tasawuf memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. Karena
Nabi Muhamad Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Wallahu \'Alam bi as-Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar