PERTEMUAN 1
PEMBAHASAN AKHLAK
A. Pengertian Akhlak
Secara etimologi
kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq dalam bentuk jama’, sedang
mufradnya adalah khuluq Selanjutnya makna akhlak secara etimologis akan dikupas
lebih mendalam. Kata khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fi’il
madhi khalaqa yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada mashdar
yang digunakan. Ada beberapa kata Arab seakar dengan kata al-khuluq ini dengan
perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna
tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq artinya
ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan sesuatu tanpa
didahului oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain
menciptakan sesuatu dari tiada. Dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah,
sehingga hanya Allahlah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq
sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24
هُوَ
اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ
dan QS. Yasin ayat 81 yang berbunyi
بَلَى
وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ
Disamping itu masih ada arti lain
yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Mu’minun ayat 14
فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
diartikan Maha Suci Allah Sang
Perekayasa yang terbaik, dan QS. Al-Ankabut ayat 17 yang berbunyi
وَتَخْلُقُونَ
إِفْكاً
diartikan ...dan kalian mereka-reka
bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa ayat 119
فَلَيُغَيِّرُنَّ
خَلْقَ اللّهِ
diartikan ...maka mereka benar-benar
merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa hukum-hukum-Nya). Ketiga, rusak,
misalnya artinya memakaikan pakaian rusak. Arti lain yang hampir mirip dengan
al-khiluq adalah kata khalaqa yang artinya bergaul dengan orang lain, seperti
ungkapan syair: Artinya: Pergaulilah orang lain dengan pergaulan yang baik,
Jangan seperti anjing yang menggonggongi orang). Kemudian kata al-khalaq yang
diartikan bagian yang baik, seperti disebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah
ayat 102
مَا
لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ
diartikan: Dan tidak ada baginya bagian
yang baik di akhirat (nanti).
Arti-arti di atas
mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang diartikan budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat dijelaskan
al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas.
Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri,
dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat
perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi
aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan
kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta
makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang itu baik maka ia akan mendapatkan
kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya kata
al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalaq
yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-Khaliq yang berarti
pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan
pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk lainnya.
Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak.
Inilah ciri khusus kata akhlak dalam
bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut perangai manusia dalam kajian bahasa
(etimologi).
Sementara itu dari
sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemuka-kan istilah
akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan Al-Ghazali: Akhlak adalah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dari padanya timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila
sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka
sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu
perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian di atas
memberikan pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang
terpatri dan meresap dalam jiwa sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu
itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandaianya ada orang
yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk dilakukan
(mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut
dianggap dermawan sebagai pentulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan
terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Ibnu Maskawih memberikan definisi senada mengenai istilah khuluq
sebagai berikut: Khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
Dijelaskan pula
oleh Ibnu Maskawaih bahwa keadaan gerak jwa tersebut meliputi dua hal. Yang pertama,
alamiah dan bertolak watak, seperti adanya orang yang mudah marah hanya karena
masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang
biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak
terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan
atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan
dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan
dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak
merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan
jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan
perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar
interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi
pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya
tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat
kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad Amin menyatakan: Khuluq
ialah membiasakan kehendak.
Yang dimaksud
dengan ‘adah ialah perbuatan yang dilakukan berdasarkan kecende-rungan hati
yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan pertimbangan yang rumit; sedang-kan
yang melakukan dengan iradah ialah menangnya keinginan untuk melakukan sesuatu
setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan terbaik diantara
beberapa alternatif. Apabila iradah sering
terjadi pada diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga
selanjutnya tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan
secara langsung melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi
yang terakhir ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan secara rinci
tentang pembiasaan kehendak. Dimana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti
kehendak itu adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia ketahui
yang sesuai dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan yang akan
datang.
Kembali pada
masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau pembawaan
sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani, dermawan dan
sebagainya, dan bias merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang kadang-kadang
sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang perbuatan yang akan
dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga sedikit demi sedikit
sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Dan memang harus diakui bahwa
manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada yang berwatak baik,
berwatak buruk dan ada pula yang berwatak diantara baik dan buruk. Watak-watak
tersebut turut menentukan bentuk akhlak seseorang disamping faktor pembiasaan
dan latihan tadi.
Dalam pembahasan
tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak,
yakni istilah etika dan moral. Berikut ini akan dikupas pengertian etika dan moral.
1) Etika
Etika, seperti
halnya dengan istilah yang menyangkut ilmiah lainnya berasal dari bahasa Yunani
kuno yaitu, ethos. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti:
tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak,
watak perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak taetha artinya
adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya
istilah “etika” yang oleh filosuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 sM) sudah
dipakai sebagai filsafat moral.
Jika dilihat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan
tiga arti: 1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
dan masyarakat, 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, 3)
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan secara unit
beserta contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam arti: nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau masyarakat
dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Budha, etika Islam,
Etika Nasrani dan lain-lain. Secara singkat arti ini dapat dirumuskan sebagai
sistem nilai. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Misalnya beberapa tahun yang lalu
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan sebuah kode etik untuk
seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi judul “Etika Rumah Sakit Indonesia
(ERSI)”. Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik dan
yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis
(asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi
bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan
filsafat moral. Dalam pengertian ketiga inilah umumnya definisi etika
diberikan.
Berikut ini adalah
definisi etika dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master Pictorial
Encyclopedia dikatakan: ethics is the science of moral philosophy concerned not
with fact, but with value; not with the character of, but the ideal of human
conduct. Dengan kata lain, etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak
mengenai fakta, melainkan tentang nilai-nilai dan moral berkaitan dengan
tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
Sementara itu,
dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa Ethics; the study of human
behaviour not only to find the trurth of things as they are, but also to
enquire into the worth or goodness of human actions. Selanjutnya dirumuskan
sebagai berikut the science of human conduct, concerned with judgment of
obligation (tightness or wrongess, oughtyness) and judgment of value (goodness
and badness). Dengan kata lain, bahwa etika adalah ilmu tentang tingkah laku
manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut
masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang
menyangkut kebaikan maupun keburukan.
Kedua definisi di
atas mengarah pada pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang menjadi topik
pembahasan filsafat yang dalam obyeknya mengandalkan rasionalisasi akal pikkan.
Sehingga etika sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku
manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, maka ukurannya adalah
akal pikiran. Atau dengan kata lain, melalui akal orang dapat mementukan nilai
baik dan buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena akal menentukannya baik, dan
sesuatu dianggapnya buruk karena akal menentukannya buruk. Sehingga akal
merupakan sumber dasar etika. Disinilah yang membedakan etika dengan yang
lainnya. Dengan demikian tidak salah bila dirumuskan bahwa etika adalah ilmu
yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal
perbuatan manusia sejauh mana yang diketahui oleh akal pikiran.
Berdasarkan
pengertian di atas, secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua
pengertian, yaitu pengertian empiris dan filosofiis. Pegertian empiris ini
berdasarkan pada penelitian psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia
yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan pengaruhnya terhadap orang lain.
Dan inilah yang biasa disebut etika praktis yang berhubungan dengan prilaku
individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian filosofis ini merupakan hasil
kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun buruk, apa yang boleh
dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah untuk menjelaskan norma-norma
atau keputusan-keputusan perbuatan manusia tentang nilai-nilai moral, yang
sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika dalam filsafat dibatasi sebagai
filsafat tentang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang
baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain tunduk terhadap suatu norma
dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika mempunyai sifat dasar kritis,
maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma yang berlaku. Etika dapat
mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional, untuk
membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang
dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab
bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang, serta bagi
siapa saja yang tidak diombang-ambingkan oleh kegoncangan norma-norma
masyarakat sekarang. Karena etika adalah pemikiran sistematis tentang
moralitas, maka yang dihasilkannya secara langsung bukanlah kebaikan, melainkan
suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dengan demikian
sangat jelas, bahwa etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal pikiran dalam
menentukan baik dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan istilah moral yang
meskipun obyek dan arti etimologinya sama.
2) Moral
Bila kata etika
berasal dari Yunani kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin, yaitu jamak
dari mose yang berarti adat kebiasaan. Kedua istilah ini kadang-kadang
digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang istilah moral dapat
disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian nilai-nilai dan
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam suatu
masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya dikatakan bahwa perbuatan
orang tersebut tidak bermoral. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah
perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya bila
dikatakan orang itu bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi
nilai-nilai dan norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya.
Sehingga contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu berkonotasi
positif. Padahal sebetulnya pengertiannya tidak sesempit itu karena secara
harfiah moral itu diartikan adat kebiasaan manusia dalam berperilaku maka ia
bisa berkonotasi positif maupun negatif, bisa baik dan bisa buruk tergantung
sifat perbuatan itu.
Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam Dictionary of Education, bahwa moral ialah a term
used to delimit those characters, traits, intentions, judgments, or acts which
can appropriately, be designated as right, wrong, good, bad. Karena moral itu
merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas
manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral ini lebih
terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan,
keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok ukur yang
digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan
manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam pembahasan
moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat
berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal ini Hamzah
Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan ide-ide umum
tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.
Senada dengan
Hamzah Ya’qub, secara detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa
moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup
(moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk.
Maka untuk mengukur tingkah laku manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari
penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan,
baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang
membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah
etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat praktis,
etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral merealisasikan
ukuran itu dalam perbuatan.
3) Perbedaan
Akhlak, Etika Dan Moral
Istilah akhlak,
etika dan moral sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam percakapan
sehari-hari, sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga istilah
tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat dimaklumi karena
ketiganya mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu dibedakan
antara akhlak sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan di atas, dan akhlak
sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika sebagai ilmu
yang pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu pengertian ilmu filsafat
yang cukup mewakili adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan bahwa ilmu
akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan
melakukan apa-apa yang harus diperbuat. Pengertian di atas hampir tidak ada
bedanya dengan pengertian etika, sehingga kadang-kadang disamakan antara ilmu
akhlak dan etika. Namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara
keduanya mempunyai segi-segi perbedaan. Sedangkan pada etika dan moral yang
membedakan adalah pada tolok ukurnya. Jika dalam etika untuk menentukan nilai
perbuatan manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran maka dalam
pembahasan moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat,
yang dapat berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu.
Inti pengertian di
atas adalah harus ada seperangkat nilai yang mengatur manusia untuk berbuat
sesuatu untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon banum) yang
dalam teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara universal tanpa
memandang ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa. Sedangkan dalam
akhlak (dalam hal ini adalah akhlak Islam) merupakan seperangkat nilai untuk
menentukan baik dan buruk tolok ukurnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi umat Islam
al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur segala
perilakunya, sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari keduanya. Hal
ini tidak berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam pembahasan akhlak atau
etika merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan karena suatu perbuatan
dapat dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang yang sudah menentukan pilihannya
untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri dan tunduk pada kemauan Allah,
akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam. Sebaliknya bila seseorang
menentukan pilihannya pada yang lainnya, ia akan terikat dengan sistem
nilai-nilai lain, karena tak ada konsep bebas yang mutlak kecuali hanya milik
Allah yang tak terikat ruang dan waktu.
Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola
sikap dan tindakan manusi di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran
Islam dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber nilainya serta ijtihad
sebagai metode berpikirnya. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola
hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan
alam. Pola hubungan dalam akhlak Islam ini saling berhubungan sehingga orang
dapat dikatakan berakhlak mulia apabila ia baik hubungannya dengan Allah,
dengan sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.
B. Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas
persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup
akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaan-nya,
terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta
terhadap masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya
bersikap terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan,
dan tumbuh-tumbuhan.
Ahmad Azhar Basyir
menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan
yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan
Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga,
akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak
terhadap alam.
Dalam Islam akhlak
(perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut
kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak
Islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:
1) Hubungan antara manusia dengan Allah
Seperti akhlak terhadap Tuhan
2) Hubungan manusia dengan sesamanya
Hubungan manusia
dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarga-nya maupun
hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a) Akhlak terhadap keluarga yang meliputi: akhlak
terhadap orang tua, akhlak terhadap isteri, akhlak terhadap suami, akhlak
terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
b) Akhlak terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak
terhadap tetangga, akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap
anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
3) Hubungan manusia dengan lingkungannya. Akhlak
terhadap makhluk lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap
tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4) Akhlak terhadap diri sendiri
PERTEMUAN 2
C. Dasar-Dasar Akhlak
1) Al-Qur'an
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah
orang yang berakhlak sangat mulia. (QS. Al-Qalam:4).
Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya
diberikan kepada Nabi Muhammad karena kemuliaanakhlaknya. Penggunaan istilah
khulukun ‘adhim menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang
dalam hal ini adalah Muhammad SAW. Banyak Nabi dan rasul yang dsebut-sebut
dalam Al-Qur’an, Tetapi hanya Muhammad SAW yang mendapatkan pujian sedahsyat
itu. Dengan lebih tegas Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa
akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya,
sehingga layak untuk dijadikan idola yang teladani sebagai uswah hasanah,
melalui firman-Nya:
Artinya: Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah
ituo terdapat suri taula dan yang baik …
2) Al-Hadits
Dalam
ayat al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh yang
layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri
Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat
diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah
untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena
Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini didukung pula dengan
hadits yang berbunyi:
Artinya:Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.
Hadis
tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan
umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyem-purnakan
akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi
persoalan di sini adalah bagaimana substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal
ini, para sahabat pernah bertanya kepada isteri Rasulullah, yakni Aisyah r.a.
yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka
Aisyah menjawab:
Artinya: Substansi akhlak Rasulullah itu adalah
al-qur’an.
Dari
jawaban singkat tersebut diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin lewat
semua tindakan, ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan
al-qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan al-qur’an.
Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur'an
didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
D. Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak
adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di
dunia maupun akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah
dan mu’amallah ma’annas, isnya Allah akan memperoleh rida-Nya. Orang yang
mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik
duniawi maupun ukhrawi.
Seseorang yang berakhlakul karimah
pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan tidak pernah menipu
apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya dapat hidup dengan
tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi, serta dihargai
kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya. Ketenteraman hidup orang
berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis menghadapi kehidupan ukhrawi
lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai dengan ketentuan Allah sehingga
tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman dan
kebahagiaan hidup seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan,
kepandaian, atau jabatan. Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas apakah
ia seorang yang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, memiliki
jabatan tinggi, rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya Allah
akan dapat memperoleh kebahagiaan.
E. Urgensi Akhlak
Saat ini kita
berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu
menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern,
melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi
multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi
cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak
untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah
cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik
keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita harus kaya
informasi dan tak boleh ketinggalan, jika tidak mampu dikatakan tertinggal.
Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan kepribadian hanya untuk
mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga
mampu menyaring “ampas negatif “ teknologi dan menjaring saripati informasi
positif.
Dengan otoritas
yang ada pada akhlakul karimah, seorang akan berpegang kuat pada komitmen
nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak,
sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh,
akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh
berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Mencermati
Fenomena aktual di tengah masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara
bahwa sebagian hegemoni media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih
memunculkan dampak negatif bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya
dampak positif dalam hal ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan”
yang ada.
Televisi yang
sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai
tayangan yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum
lagi penayangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi
aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini,
sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi.
Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan
akhlak melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Adanya fenomena
yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar,
satu sisi membuat orang betah berbelania di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan
dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi lain sebagian mall mulai
difungsikan untuk mejeng bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan
imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina
moral serentak untuk menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda
lagi.
Belum lagi
munculnya tempat hiburan malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta
peredaran obat-obat terlarang yang banyak menimbulkah korban-korban generasi
muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya pengawasan orang tua
terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang baik dalam berakhlakul
karimah juga diperlukan tindakan represif dari aparat terkait. Upaya
menumbuhkembangkan akhlakul karimah merupakan taggung jawab bersama, yakni
keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Keempat institusi tersebut
memiliki tanggung jawab bersama untuk mendarahdagingkan akhlakul karimah,
terutama di kalangan generasi muda.
Munculnya fenomena
amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat
pertokoan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun
berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristwa amukan
tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena
tersebut hendaknya dijadikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan
menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.
Urgensi akhlak
semakin terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan,
penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa
kerja kerjas. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan
represif melalui penanaman akhlakul karimah. Tanpa upaya prefentif, segala
bentuk upaya represif tiak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku
kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian
fenomena “miring” tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di
tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan
diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena
kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat
komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas
yang semakin seulit dibendung.
Didalam
menyongsong kemajuan zaman, bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas
unggul. Bangsa yang unggul dalam perspektif Islam adalah bangsa yang
berakhlakul karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah:
Artinya: Sesungguhnya yang paling
unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya. (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam hadits lain Rasulullah
bersabda:
Artinya: Yang disebut bagus adalah
bagus akhlaknya. (H.R. Muslim).
F. Kakteristik Akhlak Dalam Ajaran
Islam
Islam memiliki
dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi
karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
1) Akhlak meliputi
hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang
dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai
contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak, secara umum adalah Q.S. An-Nahl
(16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil,
berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan
contoh ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S.
Al-Huujurat (49):12 yang menunjukkan larangan untuk saling mencela, serta
memanggil dengan gelar yang buruk.
2) Akhlak bersifat
menyeluruh
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh
kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam
hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya
alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan bernegara, kehidupan
berkeluarga, dan bermasyarakat.
3) Akhlak sebagai
buah iman
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat
dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon,
sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah
buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan
membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat terdeteksi melalui indikator
tidak teftibnya ibadah dan sulit membuahkan akhlakul karimah.
4) Akhlak menjaga
konsistensi dengan tujuan
Akhlak ridak membenarkan cara-cara mencapai tujuan
yang bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan
yang baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul
karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu
dengan tujuan itu tersendiri.
G. Akhlak Karimah
Akhlak al-karimah
adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang mulia di mata Allah Swt. Akhlak
yang terpuji ini merupakan implementasi dari sifat dan prilaku yang baik dalam
diri manusia. Akhlak al-karimah dapat dilihat dari sifat, tingkah laku maupun
perbuatan nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad SAW
tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia yang paling
spektakuler, sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu 23 tahun
Muhammad telah berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia yang
sarat kezaliman dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah
kehidupan yang sarat nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal
sebagai zaman jahiliyah atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa
arab telah memiliki kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan
rata-rata, tetapi moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam
waktu yang relatif singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia
arab atas puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang
akhirnya melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah yang
mengorbankan revolusi Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang, meski
tidak menyadarkan kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun
strategi perang yang jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut
lebih banyak ditopang oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang
didorong oleh semangat menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan akhlak,
Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah. Rasulullah mengajak
umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Di samping itu,
Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga dengan akhlak.
Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan membangun
negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan
siapapun senantiasa mempraktekkan akhlak al-karimah secara nyata dan konsisten.
Semua orang yang
pernah mengenalnya tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan akhlaknya,
sekalipun ia seorang yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy membenci
Muhammad dan memburunya, adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya yang
dipandang “subversif” karena dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah”
mereka yakni dewa-dewa dan patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam kehidupan
berkeluarga, Muhammad telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah tangga yang
tanpa cacat dalam pandangan semua anggota keluarga, masyarakat sekitarnya,
bahkan dalam pandangan semua umatnya. Semua gerak langkah adat kebiasaannya,
bahkan keputusan-keputusannya terdokumentasikan dalam sunnah rasul dan
diteladani oleh semua umatnya akhir zaman.
Dalam bidang
politik Muhammad Saw telah mampu menunjukkan “kelasnya” sebagai politikus
terkemuka, semua keputusan dan langkah politiknya mengindikasikan muatan
akhlakul karimah. Hal tersebut tercermin melalui kemampuannya untuk meredam
konflik antar etnis serta fiksi yang bermuara pada pluralitas, serta penampilannya
sebagai sosok demokrat sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi dan potensi
ummat.
Melalui telaah
historis dapat diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak,
remaja, dan dewasa tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad
Saw pernah melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan
lingkungan dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin, yang
berarti orang yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian
panjang dalam kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali,
bahkan selalu diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak Nabi, yang
mencakup sifat, ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang baik (akhlak
al-karimah), sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di seluruh
dunia. Sebagaimana dalam firman Allah Swt : Artinya: Sungguh bagi kamu pada
diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik .…
PERTEMUAN 3
PEMBAHASAN TASAWUF
A. Asal Usul Kata Tasawuf
1) Kata tasawwuf adalah bahasa Arab dari kata suf
yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba
yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah
disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang
zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150H).
2) Ahl Al-Suffah, yaitu orang-orang yang ikut
hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka
berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi
Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana
disebut suffah. Kata sofa salam bahasa Eropa berasal dari kata Walaupun hidup
miskin, Ahl Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan
keduniaan yang bersifat materi, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat
rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya
3) budi yang mulia. Itulah sifat-sifat
kaum sufi.
4) Shafi yaitu suci. Orang-orang sufi adalah
orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan
mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian mereka
adalah orang-orang yang disucikan.
5) Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya
hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki
kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari
kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
6) Saf pertama. Sebagaimana halnya orang yang
shalat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula
orang-orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam shalat
jamaah mereka mengambil saf yang pertama.
Di antara kelima
asal-usul kata tasawwuf, yang disebut pertama lebih banyak disebut para ahli
sebagai asal kata tasawwuf. Dalam kisah orang-orang Sufi Masehi dan Yahudi,
disebutkan bahwa kebiasaan mereka memakai pakaian yang berasal dari kulit dan
bulu domba yang kasar. Dengan pakaian dari bulu domba yang kasar dan sederhana
itu orang-orang sufi akan terhindar dari sifat riya dan menunjukkan kezuhudan
pemakainya.
B. Pengertian Tasawuf
Untuk menyatakan
hakekat tasawuf itu sangat sulit, karena tasawuf menyangkut masalah rohani dan
batin manusia yang tidak dapat dilihat. Oleh karena itu ia hanya dapat diketahui
bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejalanya yang tampak dalam ucapan, cara dan
sikap hidup para shufi membuat definisi tasawuf tersebut. Sekalipun demikian
para shufi membuat definisi tasawuf berbeda-beda sesuai dengan pengalaman
empiriknya masing-masing dalam mengamalkan tasawuf.
Menurut Ma’ruf
al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat
tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Ahmad al-Jariri
ketika ditanya seseorang: Apa itu tasawuf ? Ia menjawab: Masuk ke dalam setiap
akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela).
Sementara Abu Ya’qub al-Susi
menjelaskan bahwa shufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang
terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.
Definisi-definisi
di atas menunjukan betapa besarnya peranan akhlak dalam tasawuf. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf ini dimaksudkan sebagai usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan pentingnya akhlak atau sopan
santun baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
Selanjutnya
definisi tasawuf ini mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari definisi
yang dikemukakan Dzu al-Nun al-Mishri bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan
segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang
shufi dan mengalahkan segala sesuatu. Dari definisi ini, pembahasan tasawuf
mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan mahabbat. Shufi adalah
orang yang mencintai Allah SWT sampai mengalahkan segala-galanya.
Kemudian definisi
tasawuf berkembang lagi dengan datangnya shufi besar, Abu Yazid al-Bustami yang
mendefinisikan tasawuf dengan shifat al-Haqqi yalbisuha al-Khalqu (sifat Allah
yang dikenakan oleh hambaNya). Hal ini menunjukan adanya perkembangan definisi
dari Abu Yazid yang terkenal dengan syafhahatnya, yaitu: idzhar al-bathin bi
al-‘ibrat badalan min al-isyarat (mengungkapkan secara lisan akan kondisi
bathin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup
diisyaratkan).
Lebih jauh Imam
al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: al-tashawwuf antakuna ma’a
Allah bila ‘alaqat (tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan).
Maksudnya, seorang shufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq dan
khaliq, bukan hubungan antara 'abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid, selagi masih
ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui
keberadaan diri makhluq.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan
lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung
oleh ulama syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan
Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allah...ana al-Haqq (aku adalah
Allah....aku adalah yang maha benar).
Di sini timbul
pertanyaan: kenapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang
melanggar syari’ah sehingga ia menerima hukuman gantung, padahal al-Junaid
sebagai gurunya telah memperingatkannya. Alasan al-Halkj: “apa pun yang akan
terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan ana Allah ... ana al-Haqq, karena
saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi
tidak bisa menyatu dengan Allah”. Nampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak
ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya, karena jasad dirinya
dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah.
Memperhatikan
definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Yazid
al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj, dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak
lagi menekankan masalah ahlak, melainkan sudah membahas masalah hubungan
langsung antara shufi dan Tuhan bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara
shufi dan Tuhan.
Berdasarkan
seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya
menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
sedekat-dekatnya.
C. Sumber Ajaran Tasawuf
Dalam sumber
ajaran Islam, al-Qur’an dan hadist terdapat ajaran yang dapat membawa kepada
timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan
ajaran dasar dalam mistisisme ternyata ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam
QS. Al-Baqarah ayat 186 menyatakan:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ
Artrinya: Jika hamba-hamba-Ku bertanya
padamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang
memanggil jika ia panggil Aku.
Kata da’a yang
terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang
lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka
panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.
Ayat 115 dalam QS. Al- Baqarah juga
menyatakan:
وَلِلّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
Artinya: Timur dan Barat kepunyaan
Allah, maka kemana saja kamu berpaling disitu (kamu jumpai) wajah Tuhan.
Bagi kaum sufi
ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, dan dapat dijumpai. Selanjutnya
dalam hadits dinyatakan:
Artinya : Siapa yang kenal pada dkinya,
pasti kenal pada Tuhan.
Hadits lain yang
juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf adalah hadits qudsi yang
berbunyi:
Artinya: Aku pada mulanya adalah harta
yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan
merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.
Menurut hadist ini, bahwa Tuhan dapat
dikenal melalui makhluk-Nya, dan pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui
Tuhan melalui diri-Nya.
D. Tujuan Tasawuf
Sebelum
dikemukakan tujuan tasawwuf, terlebih dulu dijelaskan pengertian “fana” dan
“ma’rifat”. Fana dalam arti filosofis adalah meniadakan diri supaya ada Menurut
ilmu tasawwuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana
perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dengan fana hilanglah
sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat bathin), dan kekalnya sifat-sifat
terpuji (taat lahir dan taat bathin). Adapun pengertian ma’rifat adalah
pengetahuan hakiki tentang Tuhan, atau melihat Tuhan dengan hati sanubari.
Tujuan tasawwuf
adalah “fana” untuk mencapai “ma’rifat”. Dalam hal ini ahli-ahli tasawwuf
berkata: Artinya:Tasawwuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan
Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah. Tasawwuf mengantarkan
manusia untuk mendekatkan diri setingkat demi setingkat kepada Tuhannya,
sehingga ia demikian dekat berada di hadirat-Nya.
Dengan demikian
maka tujuan terakhir dari tasawwuf itu adalah berada dekat sedekat-dekatnya di
hadirat Tuhan, dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya.
Untuk memantapkan pemahaman Anda
tentang pengertian tasawwuf, Anda perlu mengerjakan latihan di bawah ini.
Sebaiknya latihan ini Anda kerjakan melalui diskusi bersama teman-teman.
E. Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1) Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual tidak
ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan
tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul,
ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan.
Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang
sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk
merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan
banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang
bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada
nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah Swt Akhlak mereka demikian tinggi,
tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan
tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya
yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
a) Hidup zuhud (tidak mementingkan
keduniaan).
b) Hidup qanaah (menerima apa adanya).
c) Hidup taat (senantiasa menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d) Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e) Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
f) Hidup ubudiah (mengabdikan diri
kepada Allah).
Sikap hidup seperti tersebut di atas kemudian
diikuti oleh kaum sufi, kemudian menjadi sikap hidup mereka.
Dari perilaku
kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya serta asal pokok ajaran tasawwuf di
atas, dapat kita artikan bahwa hakikat tasawwuf itu adalah mencari jalan untuk
memperoleh kesempurnaan hidup rohani. Untuk memperoleh kesempurnaan hidup
rohani ini memang tidak mudah, biasanya memerlukan suatu proses, bahkan
kadang-kadang proses itu cukup panjang.
Seorang sufi yang
ternama pada mulanya juga mengagumi hal-hal yang bersifat lahir, yang dapat
diraba dan dirasakan dengan panca-indera, tetapi lama kelamaan kepuasan
merasakan sesuatu yang lahir itu berangsur-angsur surut. Maka sirnalah
keindahan dunia yang bersifat materi dan mereka mencari kepuasan lain. Mereka
menuju alam rohani, yang tidak dapat diraba dengan panca-indera, melainkan
hanya dapat dirasakan dengan perasaan halus.
Seseorang tidak
dapat memahami dan terjun ke dalam tasawwuf, kecuali sesudah roh dan jiwanya
menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya dari
kemegahan dan keindahan duniawi. Peralihan dari ketidakpuasan merasakan
nikmatnya keindahan duniawi menuju kepada dunia ghaib ibarat kekaguman seorang
anak kecil tentang benda-benda yang terdapat pada alam sekelilingnya. Semua
yang pertama kali dilihatnya dirasa indah dan hebat. Ketika perkembangan
jiwanya meningkat, sehingga apa-apa yang tadinya dipandang indah dan hebat
menjadi kecil dan remeh. Mereka meninggalkan benda-benda itu dan mencari
benda-benda yang dapat memuaskan dirinya.
Jadi tasawwuf itu
pada dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan
yang lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan. Sebagai contoh
dikemukakan di sini salah satu sisi kehidupan (pengalaman) salah seorang sufi
yang terkemuka, yaitu Ibn Arabi. Sebagai manusia, ia merasakan keindahan dunia
sebagaimana dirasakan oleh manusia lainnya. Ketika berumur 38 tahun, masa
peralihan dari masa muda ke masa tua, ia pergi ke Hejaz dan tinggal serta
berguru pada seorang alim ulama di Mekkah. Gurunya itu mempunyai seorang anak
perempuan yang cantik jelita, ditambah pula dengan budi bahasanya yang lembut.
Perjumpaan Ibn Arabi dengan anak perempuan gurunya itu sangat mengganggu
pikirannya. Ia ingin selalu dekat dengan orang yang disenanginya itu. Siang
dikenang, malam diimpikan. Banyak sudah karangan yang telah ditulisnya, hanya
untuk menggambarkan kekaguman dan kecantikan orang yang dicintainya. Demikian
indahnya rangkaian kalimat yang diciptakan Ibn Arabi sehingga dapat menjelaskan
kepada kita bahwa besar dan kuatnya rasa cinta terhadap keindahan alam lahir
dapat mempengaruhi sikap seseorang. Demikianlah perasaan yang pernah dialami
Ibn Arabi. Salah satu kalimat curahan perasaan yang bersifat kesenangan duniawi
terungkap dalam perkataannya, “Demikian rupa hatiku terpikat olehnya, pikiran
dan jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga yang kutuju, setiap nama yang
kusebut, namanyalah yang kukehendaki, setiap kampung kampungnyalah juga
seakan-akan yang kumasuki.”
Kata-kata Ibn
Arabi tersebut menunjutkan bagaimana keadaan seseorang yang telah tenggelam
dalam merasakan nikmat pendengaran, penglihatan, dan perasaan hati. Jika
pengaruh itu tidak segera dibersihkan, maka manusia tidak dapat melepaskan diri
dari kecintaannya terhadap dunia yang bersifat materi ini. Ibn Arabi menyadari
akan maksud dan tujuannya datang ke Mekkah ini, ia teringat akan cita-citanya semula.
Lalu ia berusaha untuk dapat melepaskan diri dari belenggu syahwat yang telah
mengikat alam pikirannya. Ikhtiar Ibn Arabi semacam ini dapat kita katakan
permulaan menjauhkan diri dari kesenangan lahir menuju pada kesenangan rohani,
yang boleh kita anggap peralihan kepada tingkat iman yang lebih tinggi.
Perhatian Ibn
Arabi beralih dari bumi ke angkasa raya, meningkat bersama panggilan jiwanya ke
langit, kepada keindahan bintang-bintang yang bertaburan di cakrawala.
Pandangannya berpindah dari ruang yang sempit ke dunia luar yang lebih luas dan
kepada keindahan yang lebih menakjubkan serta mengagumkan. Ia duduk termenung
pada malam hari yang sepi, sambil bertopang dagu, melihat dengan asyiknya
keindahan bintang-bintang.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui
bahwa orang-orang sufi meletakkan makna hidup itu lebih tinggi daripada hidup
biasa. Kadang-kadang sampai demikian tingginya, sehingga sulit difahami oleh
orang biasa. Jika mereka membicarakan suatu hukum dalam Islam, maka yang
dipentingkan adalah tujuan dari hukum itu, sehingga sering ijtihad mereka
kelihatannya seolah-olah berbeda dengan pengajaran-pengajaran ilmu fiqih biasa.
Tasawwuf atau
sufisme sebagaimana halnya dengan aliran-alkan mistik di luar Islam ingin
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar
bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari tasawwuf adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan
dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (semedi). Banyak ayat Al-Qur’an
yang menganjurkan kepada manusia agar merenungi alam raya ini dan juga diri
manusia sendiri. Dengan demikian manusia akan mengingat zat penciptanya.
Kekaguman akan keindahan alam, diri manusia, lambat laun akan tercurah rasa
rindu untuk dekat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Jika hidup kerohanian (hidup
sufi) telah merasuki sendi-sendi kehidupan seseorang, maka tidaklah ia merasa
hina dihadapan manusia lainnya sekalipun dengan pakaian bulu domba (suf) yang
kasar. Ia menjadi zuhud (tidak terpikat pada kemewahan dunia, ta’abud
(berbakti), qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan ikhlas. Hidup
kerohanian semacam ini telah dimulai oleh Nabi Muhammad saw, bahkan oleh
Nabi-nabi terdahulu, termasuk Ulul Azmi, yaitu: Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi
Musa as, dan Nabi Isa as.
Mengenai kehidupan
Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga
beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan
yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap
begitu juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk makan sehari-hari saja
kadang tidak ada. Ia tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang
empuk, makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan
segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh
kepada keponakannya, Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang
berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya,
“Jadi, apakah yang kamu makan sehari-hari?” Aisyah menjawab, “Paling untuk yang
menjadi pokok itu adalah korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga
Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan
seteguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan
kecuali kalau lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula
pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar
dan Umar. Ia bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar
masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”.
Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita
pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering
berpuasa sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia,
tetap dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di mesjid.
Setelah beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya
kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat dimakan?”
Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan, ia
kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang sunat.
Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah
tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu
dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama,
sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman
bin Affan.
Aisyah menerangkan
lebih lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua
kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan
tiga orang. Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup
sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi
daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak manusia untuk
meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga melupakan tujuan
hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa kekayaan dan
kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak kepada manusia
untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni dengan
mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT. Hidup
kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada
Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya :
Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami
Tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia daripada
pembuluh darah yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
juga firmannya lagi:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ
Artinya:
Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang
memanggil jika Aku dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah
:186)
Dari Ibnu Mas’ud
diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan didapatinya
Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai anyaman daun korma sampai
memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud bertanya,
“Rasulullah, apakah tidak baik kalau aku mencarkan sebuah bantal untukmu?”
Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah laksana
seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat terik di
bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ
ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan
harta benda dikisahkan pula bahwa pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan
Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga semua uang emas itu
dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini
diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang
akhir hayatnya, ia teringat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar
emas. Dalam keadaan sakit payah, ia memanggil ahli rumahnya untuk segera
membagi-bagikan mata uang tersebut kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan
oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena
kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa
yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi
mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai
bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan dengan mata uang di
tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu kepada fakir-miskin,
sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan pakaian yang kasar. Begitu
kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia tidak meninggalkan
untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
Abdurahman bin Auf
menceritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang
ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang, dan seekor keledai yang
biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah
diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap
dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia
supaya manusia pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud
sudah dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka
menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan
merenungi alam raya ini dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan mata
hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan
suci, kepribadiannya sangat sempurna. Ia memang seorang manusia seperti kita,
tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan cepat
menerima dan merasa apa yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad
menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ
وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ
عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu
wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi
kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang
Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh
Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan
cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau
benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati
atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di
Goa Hira merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan
Nabi di Goa Hira mengenai alam raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan
keagungan Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan
memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk, hanya ada satu
dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut para ahli
tasawuf, cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan
pertama dan utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh
limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari
Allah. Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin
ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha
Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri)
kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. Ia
memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah
Rasulullah menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk tempat
tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang ikhlas
mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup kerohanian.
Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400 orang, lambat
laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman
dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan mereka sangat
luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah
tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta
benda, dan tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya hanya tertuju
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah
keteladanan hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap
hidup para sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar
kaum suffi itulah yang telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang
dikehendaki oleh Allah Taala.”
2) Zaman Sesudah
Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat,
kekhalifahan Islam diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi
khalifah atau kepala negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara
hidup mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan
raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh
berikut ini dikemukakan salah satu sisi dari kehidupan para khalifah tersebut.
Menurut riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap
lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia
berkata pula, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri
karena sesuatu dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai
perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan hidup
beliau adalah bahwa sifat dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah
dari keyakinan dan martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang
bersih dan kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri
Umar, bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya.
Pangkat khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai
kehidupan rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya
semakin ia tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari
negeri Yaman, lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan
nasihatnya. Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir
mematuhi nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata,
“Kami tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya,
“Mengapa?” Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan
membagi-bagikan zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara
Tuan hanya mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu
persalinan, tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin.
Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar
sanggahan orang itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia
berpaling kepada puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah,
bagaimana menurut pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada
penyanggah itu, “Jika masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi,
biarlah saya yang akan menanggungnya.” Mendengar jawaban Abdullah, orang yang
menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada khalifah.
Usman bin Affan
adalah Khalifah yang ketiga. Ia adalah seorang Khalifah yang berada. Walaupun
ia banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya
digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama
Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an,
Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh
Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang hamba melalaikan surat dari tuannya.
Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat
dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh pemberontak
ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin
Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya
yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang
dikenakannya telah robek. Ketika pakaiannya robek, ia sendiri yang menambalnya.
Pernah orang bertanya, “Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?” Beliau
menjawab, “Untuk mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang
beriman.
Selain dari sahabat Nabi yang empat
sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan oleh
sahabat-sahabat vang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. Ia terkenal
salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
Ia menjadi tempat
bertanya pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang kepada
Huzaifah untuk menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau
tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas
memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran
Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan
Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas
menentang gaya hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia melihat bahwa
ketulusan beragama sudah mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal
yang demikian, bahkan pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya
menjadi teladan dengan berani dan terus terang menentang pengumpulan harta
benda untuk kepentingan diri sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ
فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berita bukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap Abu Dzar
yang demikian, oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum,
Abu Dzar dituduh telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan
semangat perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya,
Khalifah Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah dusun
bernama Rizbah.
Dengan peristiwa
yang dialami Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan
yang mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang terkenal
menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said bin
Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. Ia seorang zahid yang betul berani
mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang Khalifah,
ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun terkenal
kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan membunuh
orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan semena-mena itu,
Sa’id Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj
dan tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa tersinggung. Maka
dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat
dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh,
Hajjaj berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia
mati membelakangi kiblat. Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku,
disanalah wajah Allah.”
PERTEMUAN 4
F. Pembahasan Akhlak Tasawuf
Hubungan antara
akhlak dengan tasawuf sangatlah erat bisa dikatakan seperti dua mata uang,
karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya
dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf). Sementara bagian yang
terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia disamping hal-hal
yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang dilakukan
kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada akhlak mulia. Namun
demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang akhlak. Oleh
karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian akhlakul karimah
melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus shalih.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting
untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada pada tataran pemikiran dan
wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan bekas pada mahasiswa menjadi
orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain pihak akhlak tasawuf juga
berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam dunia tasawuf, yaitu
tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf falsafi.
Secara singkat
akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) yang
sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan takhaluq, membersihkan
diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi dengan akhlak mahmudah
(terpuji). Hal yang perlu di perhatikan adalah faktor dari sekedar fikri
(pemikiran) dan nadzari (teoritis).
Selama ini terlalu
banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah menjadikan
mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan akhlak
biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai ranah afektif dan
psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai tinggi dalam mata
kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari penyajian akhlak
tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak dapat diperoleh
hasil semaksimal.
PERTEMUAN 5
SUMBER-SUMBER
AKHLAK TASAWUF
1. Sumber-Sumber Akhlak Tasawuf
Perlu diberikan penjelasan lebih dahulu
mengapa kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits dijadikan dasar pokok ajaran Islam.
Seperri diketahui, umat Islam memahami dan meyakini agama Islam sebagai agama
“wahyu”. Artinya ajaran agama Islam dibangun dan didasarkan dari hasil
pemikiran, penalaran, perenungan dan semacamnya, melainkan berdasar
"wahyu". Wahyu dipahami dan diyakini umat Islam secara keseluruhan
sebagai kalam Allah SWT (Ucapan Allah SWT) yang tersalurkan pesan-pesan yang
dimuat di dalamnya kepada umat manusia lewat perantaraan utusan Allah SWT.
Kalam Allah SWT ini tidak pernah diintervensi (dicampuri) oleh manusia dalam
hal ini para utusan Allah SWT, baik dari segi substansi materi maupun
instrument kebahasaannya. Begitulah yang diyakini oleh umat manusia secara
keseluruhan sepanjang kesejarahannya. Sementara itu, penjelas dalam rangka
implementasi konkret kalam Allah SWT tersebut dalam kehidupan nyata sehari-hari
umat manusia, utamanya umat Islam, maka pada ucapan, perbuatan dan persetujuan
(taqrir) utusan Allah SWT dalam hal ini Rasulullah Muhammad SAW, yang disebut
al-Hadits. Secara ringkas, al-Hadits merupakan jabaran fungsional-praktikal
dari al-Qur'an yang menyebabkan al-Qur’an jadi living (hidup) dalam praktek
kehidupan, terutama pada masa Rasulullah SAW hidup. Sementara itu pula metode
dan prosedur untuk memahami muatan al-Qur’an disebut ilmuTafsir.
Oleh karena ajaran Islam memiliki dasar
pokok berupa Qur’an dan al-Hadits, maka dengan sendirinya Akhlak Tasawuf yang
menjadi bagian dari hasil pemahaman terhadap ajaran Islam itupun sumbernya juga
harus dari al-Qur’an dan al-Hadits.
2. Sumber Al-Qur’an dan Al-Hadits
a. Sumber Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut
bahasa berarti “bacaan” atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang
diartikan dengan ism maf’ul yaitu maqru berarti yang dibaca.
Menurut istilah ahli syara’ al-Qur’an
ialah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat
bagi beliau, wahyu itu diturunkan dalam bahasa Arab dan disampaikan kepada
masyarakat ramai secara mutawatir, baik dengan lisan maupun tulisan, dan orang
yang membaca wahyu mendapat pahala dari Allh SWT.
Allah SWT menurunkan al-Qur’an secara
berangsur-angsur, sehingga penurunan seluruhnya memakan waktu selama 22 tahun 2
bulan dan 22 hari, yakni mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran
Nabi Muhammad SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjaah hari haji wada’ tahun ke 10 H,
atau tahun 63 dari hari kelahiran Nabi. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114
surat dan 6236 ayat. Sedang kalimatnya menurut hitungan sebagian ahli 74434 dan
hurufnya 325345 huruf. Semuanya dinukilkan kepada manusia secara mutawatir.
Sebagai patokan hukum agama Islam,
Al-Qur’an di dalamnya terdapat nash-nash yang juga mengupas tentang akhlak
tasawuf.
Istilah Akhlak
Tasawuf terdiri dari dua kata yaitu, akhlak dan tasawuf. Berikut ini akan
dipaparkan sumber dari al-Qur’an mengenai akhlak dan tasawuf.
1) Akhlak
Dalam al-Qur’an kata yang berkaitan
dengan akhlak diantaranya adalah surat as-Syu’ara’ ayat 137, yang berbunyi:
إِنْ
هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: (Agama kami) ini tidak lain hanyalah
adat kebiasaan orang-orang dahulu.
Lalu dalam surat al-Qalam ayat 4
berbunyi:
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad)
adalah orang yang berakhlak sangat mulia.
Dua ayat ini, baik dilihat dari asal
kata dan muatan kata, dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa istilah
akhlak memang terdapat dalam al-Qur’an. Hanya saja bila dilihat dari konteks
ayat, terdapat perbedaan muatan akhlak di dalamnya. Dalam surat as-Syu’ara ayat
137 istilah akhlak diartikan sebagai “adat kebiasaan buruk” dari seorang umat
nabi Hud AS., sedangkan istilah akhlak yang termuat dalam surat al-Qalam ayat 4
adalah dalam konteks budi pekerti yang agung atau luhur” dari sosok nabi
Muhammad SAW. Berdasarkan keterangan tersebut, maka akhlak dapat disebut
“akhlak yang baik” dan juga disebut “akhlak yang buruk”.
2) Tasawuf
Istilah tasawuf secara eksplisit
kebahasaan tidak pernah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian besar ulama tasawuf
sepakat bahwa masalah tasawuf tersebut secara implisit (tersirat) dan termuat
dalam istilah “zuhud”. Sementara itu istilah zuhud ( ) yang berarti orang yang
tidak merasa tertarik terhadap sesuatu, hanya terdapat satu kali ditulis dalam
al-Qur’an yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
وَشَرَوْهُ
بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
Artinya: Dan mereka menjual yusuf
dengan harta yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka (anggota
kafilah dagang) itu tidak merasa tertarik hati mereka terhadapnya (Yusuf).
Dari cara penelusuran payung ayat
seperti di atas, maka banyak konsep dalam ajaran Tasawuf (yakni ajaran tasawuf
yang telah disistem menjadi sebuah disiplin ilmu fann al-‘ilm) yang
dicari-carikan paying ayatnya dalam al-Qur’an, sekedar contoh yang dikutipkan
dari beberapa kata kunci mengenai maqam (terminal ruhani), antara lain
kata-kata kunci: taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah,
ridha dan sebagainya.
Kata kunci “taubat” antara lain di
dasarkan pada Surat al-Baqarah ayat 222:
إِنَّ
اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya : . . . .Seseungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan Dia menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.|
Kata kunci “sabar” antara lain
didasarkan pada surat al-Mu’min atau Ghafir ayat 55 yang berbunyi:
فَاصْبِرْ
إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
Artinya: Maka bersabarlah engkau,
karena sesungguhnya janji Allah itu benar.....
Kata kunci “Faqr”' dikaitkan dengan
surat Thaha ayat 2:
مَا
أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya: Kami tidak menurunkan
al-Qur’an ini kepadamu agar menjadi sengsara.
Kata kunci “tawakkal” dikaitkan dengan
surat ath-Thalaq ayat 3 berbunyi:
وَمَن
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: ....dan barang siapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Kata kunci “mahabbah” dikaitkan antara
lain dengan surat Ali Imran ayat 31:
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Artinya: Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan Dia
akan mengampuni dosa-dosamu....”
Kata kunci “ma’rifah” dikaitkan antara
lain dengan surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: Dan sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan
Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya.
Yang terakhir kata kunci “ridla”
dikaitkan dengan surat al-Maidah ayat 119:
رَّضِيَ
اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: ....Allah ridla terhadap
mereka dan merekapun ridla terhadap-Nya; itulah keberuntungan yang sangat
besar.
Mencermati contoh-contoh ayat di atas,
maka dalam peristilahan maqam ada beberapa kata kunci yang dari asal
kata-katanya memang dapat dirujukan pada al-Qur’an, seperti kata kunci “taubat”
(Surat al-Baqarah ayat 222), “sabar” (Surat al-Mu’min/Ghafir ayat 55), “zuhud”
(Surat Yusuf ayat 20), “tawakkal” (Sura at-Thalaq ayat 3), “mahabbah” (Surat
Ali Imran ayat 31), “ridla” (Surat al-Maidah ayat 119). Sementara itu kata
kunci “faqr” (Surat Thaha ayat 2) dan kata kunci “ma’rifah” (Surat Qaf ayat 16)
dipahami secara implisit terhadap muatan pesan ayat-ayat tersebut.
Selain itu kandungan al-Qu’an juga
memuat ajaran-ajaran tasawuf, antara lain:
a) Memperbaiki aqidah dan meluruskan aqidah umat
yang sudah rusak binasa oleh kehendak nafsu buruk.
b) Menetapkan aturan-aturan hukum dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan benda.
c) Membersihkan hati, sehingga haluan hidup tampak
dengan jelas. Karena hati yang telah bersih akan menumbuhkan perangai-perangai
yang terpuji dan akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Hai manusia telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan pernyembah bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an ini yang menjadi sumber pertama dan utama
dari tasawuf Islam. Dari al-Qur’an ini dapat digali pelajaran-pelajaran untuk
menjadi obat hati dan penawar jiwa yang sedang menderita penyakit-penyakit
riya’, hasad, takbur, ujub dan sebagainya.
d) Kandungan al-Qur’an yang lain ialah kisah-kisah
umat purbakala seperti kaum ‘Ad, Tsamud dan lain-lain, atau kisah-kisah pribadi
seperti kisah para Rasul, Khidir, Dzul Qarnain dan sebagainya yang semuanya itu
untuk menjadi wa’ad dan wa’id atau menjadi targbib yang menggemarkan orang
berbuat taat dan menakuri mereka dari berbuat jahat. Yang juga patut dicatatkan
di sini dalam kaitannya dengan pencarian sumber dalam ayat-ayat al-Qur’an ini
adalah bahwa nampaknya para shufi (pelaku kehidupan thasawuf) lebih merasa
mantap jika dasar aktifitas ketasawufan mereka itu dapat didukung dalam
al-Qur’an. Sebabnya adalah bahwa sumber dalam ayat-ayat al-Qur’an itu
kewibawaannya dianggap lebih tinggi dari pada diambilkan dari al-Hadits,
misalnya. Kemantapan seperti ini antara lain disebabkan al-Qur’an oleh seluruh
umat Islam tidak diragukan lagi kebenarannya, baik dari segi susunan
kebahasaan, redaksi dan isi pesannya. Sementara itu keshahihan al-hadits masih
perlu dikoreksi. Sebab, harus diakui tidak semua hadits adalah shahih, baik itu
dari sudut sanad (periwayatan dari satu periwayat kepada periwayat yang
lainnya) ataupun dari sudut matan (wujud teks hadits yang bersangkutan). Bahkan
ada hadits yang digolongkan palsu (maudlu’). Karena itu al-Qur’an menjadi
sumber pertama sedangkan al-Hadits menjadi sumber kedua, apabila dalam
al-Qur’an belum dijelaskan secara terang maka rujukan keduanya adalah
al-Hadits.
b. Sumber
Al-Hadits
Sumber hukum ini
berarti merujuk terhadap Sunnah Nabi yang disebut dengan al-Hadits. Menurut
etimologi bahasa, as-Sunnah berarti jalan yang harus dijalani. Menurut ahli
Syara’, Sunnah ialah jalan yang dijalani dalam bahasa, karena telah biasa
dijalani oleh Rasulullah SAW, dan para ulama salaf yang salih sesudah wafat
Rasul SAW.
Sunnah itu ada kalanya qauliyah yaitu,
segala yang diucapkan oleh Nabi SAW, adakalanya Sunnah bersifat fi’liyah, yaitu
segala yang diperbuat Nabi Saw untuk syariat, adakalanya taqririyah, yaitu
segala perbuatan sahabat di hadapan Nabi atau Nabi melihat orang mengerjakan sesuatu
tanpa teguran dari beliau. Dan adakalanya Sunnah itu tarkiyah yaitu suatu
perbuatan yang mungkin dilaksanakan oleh Nabi, tetapi beliau tidak mau
mengerjakannya.
Istilah Sunnah ini
kemudian lebih biasa dipakai dengan istilah Hadits. Hadits (Sunnah) adakalanya
shahih dan adakalanya dha’if. Hadits shahih ialah yang mempunyai sanad yang
tersambung sampai kepada Nabi Saw, semua sanadnya tidak cacat dan matan
haditsnyapun tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Adapun Hadits yang dla'if
adalah kebalikan dari yang shahih.
Dalam kedudukannya
sebagai sumber, Hadits atau As-Sunnah mendapat tempat sesudah al-Qur’an, hal
ini sesuai dengan bunyi hadits:
Artinya: Aku tinggalkan padamu dua
pedoman, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudahnya selama-lamanya yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik).
Pada penjelasan
Hadits ini akan diuraikan sumber-sumber dari al-Hadits yang berkaitan dengan
akhlak tasawuf.
1) Akhlak
Istilah akhlak yang dikaitkan dengan
al-Hadits memang ada dasarnya. Di sini akan dikutipkan beberapa hadits yang
secara eksplisit menyinggung istilah akhlak tersebut sebagai berikut:
Nabi berkata:
Artinya:Bahwasannya aku dibangkitkan
(diutus) adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak. (HR. Baihaqy).
Hadits lain menyebutkan:
Artinya :Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya (H.R.Tirmidzi).
Pesan yang dimuat oleh kedua hadits di
atas adalah searah, yaitu bahwa masalah akhlak sangat dipentingkan berkaitan
dengan masalah kerisalahan (keutusan) Nabi Muhammad Saw dan juga berkaitan
dengan masalah keimanan (keyakinan teguh bagi seluruh manusia Islam.
2) Tasawuf
Berkaitan dengan sumber dari al-Hadits
mengenai tasawuf, semua ulama tasawuf hampir sepakat mengatakan bahwa istilah
tasawuf belum pernah dikenal dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW.
Justru yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw adalah istilah ihsan. Salah satu
potongan hadits yang berbicara tentang ihsan menyatakan sebagi berikut:
Artinya:(Tamu Rasulullah) bertanya:
Wahai Rasulullah, apakah yang disebut ihsan? Nabi menjawab: Hendaknya engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat
melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Muslim)
Jika direnungkan secara mendalam,
sebenarnya ajaran ihsan ini sudah sangat mendalam. Di sini sudah ditekankan
adanya unsur kesadaran dan penghayatan ketuhanan. Allah Swt seolah-olah sebagai
pengontrol pada prilaku manusia dan sekaligus sangat dekat dengan manusia dalam
kehidupannya. Sayangnya istilah dan konsep ini tidak dikembangkan lebih lanjut
oleh para ulama Islam sampai tingkat pelaksanaan teknis. Malahan mengintroduksi
istilah baru yang diberi nama “tasawuf”. Tetapi begitulah kenyataan kesejarahan
umat Islam yang harus diakui, walaupun sebenarnya getir menerimanya.
Al-Qur’an memang layak menjadi sumber
muatan ajaran Akhlak Tasawuf, Sebab, muatan al-Qur’an pada hakekatnya adalah
dunia akhlak. Bahkan ada sebutan yang dinyatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak
Nabi Muhammad Saw adalah “akhlak al-Qur’an”. Sementara Nabi menyampaikan bahwa
kebangkitannya menjadi seorang Rasul adalah juga dalam kerangka besar
penyempurnaan akhlak. Pernyataan Rasul tersebut dikuatkan oleh al-Qur'an:
Artinya : Sungguh adalah dalam diri
Rasulullah itu bagimu sebagai suri tauladan yang baik (yaitu) bagi orang-orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan dia banyak
menyebut Allah.
Pada hakekatnya akhlak yang dibangun
oleh al-Qur’an adalah akhlak yang mendapat pencerahan berdasar prinsip ihsan,
yang bagi penyuka istilah tasawuf disebut akhlak tasawuf. Jika disiplin menurut
peristilahan al-Qur’an dan al-Hadits, maka istilah yang lebih tepat adalah
akhlak ihsan.
Sosok Nabi Muhammad yang dijadikan
sumber keteladanan akhlak tasawuf (akhlak ihsan) adalah segala tindakan nabi yang
menyangkut kerisalahan (kerasulan), bukan yang bersifat basyariyah (biologis).
Tindakan Nabi yang bersifat basyariyah ini misalnya gaya berjalan, gaya
berlari, cara berkedip, macam suara (intonasi suara), cara tersenyum dan
sebagainya. Ini semua adalah pembawaan lahir. Sementara itu, yang berkaitan
dengan kerisalahan (kerasulan) menyangkut norma atau aturan yang dituntunkan
oleh Allah Swt lewat kalam-Nya (wahyu). Disitulah baru terjadi proses uswatun
khasanah (keteladanan yang baik). Pribadi dalam konteks kerisalahan (kerasulan)
yang senantiasa disinari oleh wahyu inilah yang memungkiikan Nabi Muhammad SAW
memiliki sifat ma’shum (terjaga dari prilaku ma’siyat) atau prilaku yang keluar
dari garis kerisalahannya). Dapat dibayangkan betapa berat diri Nabi dalam
membina dan mempertahankan dirinya sebagai sosok yang uswatun khasanah yang
senantiasa harus terjaga dari prilaku ma’siyat (sifat ma’shum) itu. Hanya
orang-orang yang benar-benar terpilih dan manusia pilihan saja yang sanggup
memikul tugas seperti ini.
PERTEMUAN 6
LATAR BELAKANG
TIMBULNYA STUDI TENTANG
AKHLAK TASAWUF
A. Latar Belakang Timbulnya Studi
Tentang Akhlak Tasawuf
1. Latar Belakang Studi Akhlak
Ketika Nabi
Muhammad diutus (dibangkitkan menjadi rasul), keadaan moralitas suku-suku di
Arabia menurut para ahli sejarah Islam bisa disebut sebagai zaman jahiliyah.
Dalam zaman itu dapat dicatatkan hal-hal sebagai berikut:
1) Jual beli hamba
sahaya. Hamba sahaya ini
biasanya berasal dari tawanan perang antar suku. Suku yang kalah dalam perang
langsung dijadikan budak (hamba Sahaya) bagi suku yang menang. Sebagaimana
diketahui, dalam masyarakat dikenal istilah ayyam al-‘arab yang artinya
hari-hari orang Arab yang diselimuti dengan suasana siap perang. Bagi suku-suku
yang memiliki oase atau sumber-sumber air untuk keperluan ternak, maka mereka
harus senantiasa siap untuk berperang untuk mempertahankan hak milik mereka
dari incaran musuh yang terus menerus mengintai. Untuk itu, sudah menjadi
tradisi bahwa bagi kaum pria sejak kecil dilatih untuk memanah, berenang dan
segala jenis alat perang lain. Mereka sangat bangga jika dalam suku mereka
lahir anak laki-laki, lalu biasanya melakukan pesta di kalangan mereka.
Jelasnya, pada waktu itu terjadi adagium: siapa kuat dialah yang menang dan
memiliki. Karena itu, bagi suku yang kuat maka merekalah biasanya yang memiliki
banyak budak (hamba sahaya). Lalu terjadilah transaksi jual beli budak itu.
2) Mengubur bayi
perempuan. Kaum perempuan
waktu itu dianggap sebagai sarana reproduksi anak atau pemuas keinginan biologis
kaum pria. Pria yang memiliki banyak isteri adalah kebanggaan. Karena dalam
peperangan yang biasanya keras dan brutal itu perlu kecepatan dan kelincahan
gerak, maka kaum perempuan dianggap menyulitkan. Karena itu jumlahnya dibatasi.
Untuk itu, jika jumlah perempuannya sudah dianggap cukup maka bayi perempuan
dikubur hidup-hidup.
3) Mengurangi
timbangan dan ukuran. Mata pencaharian
terpokok waktu itu adalah berdagang. Agar cepat dapat untung perdagangannya,
maka mereka cenderung licik dalam menimbang dan mengukur barang dagangannya.
4) Menyembah
berhala. Untuk meraih
keuntungan yang berlebih, mereka juga merasa perlu meminta roh-roh nenek moyang
dengan cara menyembah patung-patung (berhala) dari batu yang dibuat sendiri.
5) Melakukan nujum
nasib dan minum minuman keras,
Mereka suka sekali dalam hal ramal-meramal nasib, termasuk suka pesta lewat
minum-minuman keras.
6) Melakukan
tindakan riba. Yaitu melakukan
utang piutang dengan cara bunga-berbunga. Akibatnya sangat mencekik leher para
peminjam utang. Dan masih banyak lagi hal-hal yang bersifat negatif.
Dalam kondisi
seperti itulah Rasulullah SAW lahir dan hidup. Rasulullah SAW sangat prihatin
melihat kenyataan kehidupan sosial seperti itu. Oleh karena itu sangat logis
jika Rasulullah SAW memproklamasikan bahwa kerisalahannya (kebangkitannya
menjadi seorang rasul) adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan akhlak
masyarakat pada waktu itu. Jadi, kesadaran tentang akhlak sudah ada sejak
Rasulullah Saw masih hidup. Keteladanan Nabi Muhammad SAW juga dalam kerangka
pembangunan akhlak.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya,
para ulama mulai mencoba mensistematisasikan praktek akhlak al-Qur’an dan
keteladanan Rasulullah Saw ini. Tokoh yang mencoba mensistematisasikan akhlak
ini antara lain adalah Ibnu Miskawih (932-1030 M) yang menulis kitab Tahdzib
al-Akhlaq. Setelah itu disusul oleh Abu Ahmad al-Ghazali (1056-1111 M) dan lain
sebagainya. Sejak itu perhatian terhadap masalah akhlak terus berkembang,
apalagi setelah dunia Islam mulai berkenalan dengan filsafat Barat tentang
etika.
2. Latar Belakang Studi Tasawuf
Seperti diketahui
pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, tidak dikenal sebutan tasawuf. Yang
ada justru dari Rasulullah Saw ketika beliau mengintrospeksi istilah “ihsan”,
yang digandengkan dengan istilah “iman” dan “Islam”. Setelah Rasulullah wafat
masuklah ke zaman Khulafa’al-Rasyidin yang dalam sejarah Islam dicatatkan 4
(empat) orang sahabat dekat Rasulullah yang meneruskan pemerintahan (khalifah)
Islam yang berpusat di Madinah. Sahabat Nabi tersebut adalah, Abubakar, Umar
bin Khatab, Utsman bin Affan dan All bin Abi Thalib. Setelah pemerintahan Ali
bin Abi Thalib berakhir, bergeserlah sistem pemerintahan Islam itu mirip dengan
kekaisaran Romawi atau Persia. Seiring dengan mulai terjadinya pergeseran itu,
nampaknya masalah kemewahan hidup yang terpusat di pusat-pusat pemerintahan
membuat gerah bagi sebagian umat Islam waktu itu. Kelompok ini beranggapan
bahwa cara dan gaya hidup para penguasa dan para lingkaran elit waktu itu telah
keluar dari contoh hidup dari Rasulullah SAW. Kelompok inilah yang kemudian
menyisihkan diri untuk mencermati ulang dan mencontoh kehidupan Rasulullah Saw.
Sikap menentang arus ini dimulai dari kota Basrah dengan tokohnya antara lain
Hasan al-Basri dan kota Kufah yang relative disebut lebih pedalaman (dengan
tokohnya Abu Hasyim al-Kufi).
Mula-mula para penentang gaya hidup
mewah tersebut melakukan amaliah nyata dalam kehidupan sehari-hari sejauh
kepahaman mereka tentang bagaimana cara hidup Rasulullah Saw. Lama-kelamaan apa
yang mereka lakukan itu dikemas dengan istilah-istilah teknis, misalnya istilah
maqam, hal, suluk dan sebagainya. Dari sinilah mulai disiplin ilmu tasawuf.
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan
sufistik itu kemudian melebar menjadi lembaga tarekat setelah al-Ghazali
mempopulerkan tentang tasawuf ini melalui kewibawaan kitab-kitabnya. Lalu
timbulah peristilahan yang lebih kompleks lagi, seperti zawiyah, mursyid,
muraqabah, tawajjuh, wall dan sebagainya.
Kehidupan tasawuf dan berbagai
perkembangannya itu arahnya adalah untuk menambah ketajaman umat Islam terhadap
akhlak. Sehingga studi akhlak dan tasawuf di kalangan Sunni lebih dikenal
disiplin Ilmu Akhlak Tasawuf.
B. Fungsi Akhlak Tasawuf
a. Fungsi Umum
Secara umum fungsi akhlak tasawuf ini
dapat dilihat dari dua aspek yaitu, pertama menyangkut kesejarahan akhlak
tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang dan kedua,
memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang ditangkap oleh manusia modern
dewasa ini. Satu persatu akan digambarkan sebagai berikut:
Untuk aspek pertama, yaitu menyangkut
kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai
sekarang. Maka akhlak tasawuf akan dapat berfungsi sebagai:
1) Mengembalikan akhlak Rasulullah Saw menjadi
acuan kehidupan sehari-hari umat Islam.
Di sini, format akhlak Rasulullah Saw harus menjadi
koridor umat Islam terutama dalam mengarungi lautan kenikmatan dan kemewahan
kehidupan duniawi, agar tidak kebablasan. Ini bukan harus kembali ke dalam
padang pasir seperti zaman Rasulullah Saw, melainkan agar umat Islam tidak
jatuh ke dalam Lumpur Kenikmatan dan kemewahan duniawi dan meninggalkan sifat
religiusitas dan kesederhanaan mereka. Fungsi pertama ini mencuat karena setiap
kali para elite pemerintahan dan perekonomian itu diingatkan lewat himbauan
keakhlakan Rasulullah Saw kebanyakan didengar sambil lalu. Akibatnya dari pihak
pengritiknya menjadi mengeras, tidak cair. Para petinggi pemerintahan dan
perekonomian ini lebih komitrnen terhadap “kekuasaan” daripada dakwah islamiyah
(dalam arti teknis).
2) Menyeimbangkan kehidupan duniawi yang serba
hingar bingar dengan kehidupan spiritual yang serba teduh dan hening. Atau
dengan kata lain, memasukan nilai spiritualitas terhadap setiap sektor
kehidupan. Dengan adanya fungsi ini, sebagai misal, mulai popular sebutan “fiqh
sufistik”. Ini terjadi pada masa Al-Ghazali yang mengintroduksi nuansa sufistik
ke dalam fiqh agar pelaksanaan fiqh tidak sekedar formalisme (yang kehilangan
ruh). Spiritualitas, dalam fungsi ini, diharapkan memberi warna untuk
meningkatkan kadar religiusitasnya. Dunia pemerintahanpun juga mulai
diintervensi oleh al-Ghazali dengan akhlak tasawuf ini dengan cara melayangkan
surat-surat kepada para elitik di pemerintahan.
Pada wilayah grass-root (akar rumput) menyeruak
kehidupan tarekat (dengan segala plus minusnya) agar kehidupan berdasar akhlak
tasawuf bisa menjadi imbangan bagi kehidupan para elitik pemerintahan dan
perekonomian. Di sini sudah terjadi pengkutuban antara “elitik pemerintahan”
dengan “populis kerakyatan” yang aberbasis pada akhlak tasawuf. Untuk aspek
pertama ini terdapat dampak yang kurang menguntungkan pula, yaitu ketika
lembaga tarekat masuk ke wilayah grass-root (akar rumput) secara luas di
tengah-tengah masyarakat. Dampak ini ialah timbulnya proses-proses elitisasi
dalam lembaga tarekat. Di dalamnya mulai menancap kuat atratifikasi social
antara lapisan yang disebut “mursyid” dengan lapisan yang disebut “murid”.
Hubungan dari kedua lapisan ini sangat vertikal (paternalistik, kebapakan).
Dengan demikian ada dua lapisan social yang nampak, yaitu “pemerintah-rakyat”
dan “mursyid-murid”. Kalangan awam terjepit oleh pengaruh wibawa dua lapisan di
atasnya, yaitu pemerintah (dalam konteks pemerintahan), dengan mursyid (dalam
konteks sosial keagamaannya). Kondisi ini sebenarnya tidak boleh terjadi,
terutama untuk lembaga tarekat. Namun kenyataannya masih berlangsung sampai
detik sekarang ini. Adagium seperti “kewalian”, “keberkahan”, “kualat”,
“karamah”, “weruh sadurunge winarah” dan sebagainya masih terdengar nyaring
sampai detik sekarang ini. Jika hal ini terus menerus masih terjadi, maka akan
menjadi batu hambatan terkonstruksinya akhlak tasawuf yang lebih elegan
(anggun) dalam menghadapi perbaikan social di zaman global seperti sekarang
ini.
Untuk aspek kedua, akhlak tasawuf berfungsi
sebagai:
3) Peneduh jiwa karena hilangnya kebermaknaan hidup
dalam zaman kemajuan ilmu dan tekhnologi. Dalam masyarakat yang sudah maju,
nampaknya mulai timbul kemuakan dan kebosanan serta rasa kekosongan makna hidup
yang luar biasa. Piranti dan servis kesejahteraan hidup hampir terpenuhi
semuanya. Pasar, toko, super market (bahkan sekarang mulai ada hyper market),
mall, ruang pameran dan sebagainya telah dipenuhi segala macam kebutuhan dan
piranti hidup. Orang-orang modern dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan oleh
keadaan. Mereka menjadi merasa kurang tertantang. Akibatnya kebosanan
menjadi-jadi, alam kondisi jiwa dan psikologis seperti itu nampaknya fungsi
Pertama dari aspek ke dua ini menjadi niscaya. Orang mengatakan hilangnya
kebermaknaan hidup ini pasti mengiringi bagi sebuah proses kemajuan yang secara
terus menerus akan diusahakan dan diraih oleh umat manusia, baik pada masa kini
maupun masa mendatang.
4) Pengeram psikologis dari kehidupan yang diwarnai
penuh persaingan (kompetisi). Dalam suasana seperti itu bagi kelompok manusia
yang merasa kurang kuat dalam bersaing, sementara tuntutan untuk ingin bersaing
juga tidak surut, maka timbullah stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam
kondisi orang seperti ini maka akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendor
ketegangan psikisnya. Disinilah fungsi kedua akhlak tasawuf untuk aspek kedua
ini menjadi niscaya.
5) Penguat kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman
yang maju dalam hal ekonomi, ilmu, teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung
menguat tajam. Bisa dikatakan citra individualisme menguasai di seluruh sector
kehidupan. Karena egoisme meninggi, maka rasa keterancaman menjadi menguat.
Orang lain yang sebenarnya menjadi kawan justru dianggap sebagai lawan atau
musuh yang dianggap terus mengintai yang akan menyerangnya. Dalam kondisi
seperti itu ketegangan psikologis (psychologicaltension) menjadi meninggi, maka
timbullah kecemasan (anxety), bahkan ketakutan (phobia). Karena itu orang
menjadi haus terhadap pemecahan apa yang harus dilakukannya. Akhlak tasawuf
mengajarkan perlunya kesadaran kebersamaan dalam kehidupan. Bahwa di alam dunia
yang fana ini tidak ada orang, kelompok, bangsa, bahkan Negara yang dapat hidup
senang sendiri dan dapat hidup sendiri. Yang ada adalah adanya saling
ketergantungan (dependency) satu sama lainnya. Jika kesadaran kebersamaan hidup
ini berhasil dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan, maka kecemasan dan
ketakutan akan menurun tajam. Ketika menghadapi orang lain, maka tidak dianggap
sebagai lawan atau musuh yang akan menyeranginya, melainkan sebagai calon kawan
dan teman untuk berbagi pendapat dan perasaan. Falsafah Barat yang
mengintroduksi pandangan individualisme, hak-hak asasi dan “pasar bebas”, maka
orang ingin menguasai sebanyak banyaknya dan kalau perlu seluruhnya (kemilikan
tunggal). Oleh karena itu akhlak tasawuf cenderung mampu menjadi paying
perlindungan akan mampu berkiprah dalam kondisi seperti ini. Dalam akhlak
tasawuf ditekankan prinsip “keadilan dan kesetaraan”. Dua prinsip ini dalam
dunia modern sekarang ini sering terjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
atau prakteknya.
Ada sebuah
tantangan untuk fungsi aspek ke dua akhlak tasawuf, yaitu adanya opini baru
dengan munculnya apa yang disebut “etika global”. Konsep ini dirilis pertama
kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas Tubingen
Jerman. Gagasan ini lalu di deklarasikan dalam forum pertemuan Parlement of the
World’s Religions (Parlemen Agama-agama Dunia). Teks final deklarasi “etika
global” ini ditanda tangani hampir 200 orang delegasi agama-agama dunia. Dalam
menghadapi perkembangan etika global seperti ini, maka sudah semestinya studi
akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah lajunya dalam menghadapi
perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan social yang ada di
dalamnya. Adalah tidak dapat diterima kalau dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
Islam (dengan symbol kerasulan Muhammad SAW) adalah rahmatan lil ‘alamin, lalu
daya paying akhlak tasawuf hanya terbatas lingkupnya untuk umat Islam saja.
Parlemen Agama-agama Dunia ketika merumuskan deklarasi etika global berdasar
kerjasama internasional secara organisatoris yang rapih dan terencana. Bukan
suatu kemustahilan jika umat Islam akan merumuskan Akhlak Tasawuf untuk
memenuhi tuntutan rahmatan lil 'alamin. Barangkali kuncinya terletak pada niat
bulat, kemauan bekerja keras dan manajemen kerja secara organisatoris yang
rapih dan terencana dengan baik. Inilah tantangan masa depan akhlak tasaawuf
untuk masyarakat dunia modern seperri sekarang ini ataupun untuk masa depan.
b. Fungsi Khusus
Fungsi akhlak
tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa
manusia. Fungsi tersebut diantaranya adalah :
1) Membersihkan hati dalam berhubungan
dengan Allah
Hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah
tidak akan mencapai sasarannya jika tidak dengan kebersihan hati dan selalu
ingat dengan Sang Penciptanya. Misalnya, dalam shalat. Shalat diperintahkan
Tuhan, karena efeknya adalah mencegah manusia dari berbuat tidak baik. Efek ini
tidak dapat dicapai oleh manusia jika shalat itu tidak dikerjakan dengan penuh
keikhlasan dan kekhusy’an. Sebagaimana sabda Nabi:
Artinya: Berapa banyak orang yang berdiri shalat,
yang bagiannya dari shalatnya hanya penat dan letih semata (HR. Baihaqy).
Maksud hadits di atas adalah sesuatu yang
menyebabkan shalatnya sia-sia yaitu karena kekurangan “syarat bathin” dalam
shalat. Syarat bathin itu adalah kebersihan jiwa yang menjadi sumber ikhlas,
khusyu’, dan khudhu’. Dan untuk menumbuhkan yang demikian itu maka diperlukan
mempelajari ilmu akhlak tasawuf.
2) Membersihkan jiwa dari pengaruh
materi
Kebutuhan manusia itu bukan hanya pemenuhan tubuh
materi saja, tetapi dia mempunyai bathin yang disebut jiwa yang memerlukan
kebutuhan pula. Tubuh lahir manusia akan merasa puas bila diberi makanan dengan
protein nabati dan hewani, dengan demikian ia akan sehat. Kebutuhan lahiriyah
manusia erat hubungannya dengan jiwanya. Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena
adanya dorongan jiwa untuk mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai
ragam bahaya yang bisa merusakannya, seperti panas, dingin dan sebagainya yang
berasal dari makhluk hidup lainnya. Untuk melindungi bahaya inilah pada mulanya
manusia berpakaian, memakai senjata dan lain-lain. Tetapi dewasa ini pakaian
bukan lagi digunakan untuk maksud pertama tadi. Kini pakaian dipakai untuk
menjaga gengsi. Karena itu dipilihlah mode-mode yang terbaru dan termodern.
Mode-mode ini setiap bulan selalu berubah. Begitu pula dengan
kebutuhan-kebutuhan lain seperti rumah, tempat tinggal, mobil, kursi dan
alat-alat perabot lainnya. Orang pun sibuk mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan lahiriyahnya saja. Akhirnya orang lupa diri. Mereka tidak tahu akan
kebutuhan jiwanya lagi, karena memuaskan kebutuhan lahiriyahnya saja yang dipengaruhi
nafsu. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah
dengan membersihkan jiwanya. Jalan untuk itu ialah dengan pelajaran agama,
yaitu pada bidang akhlak tasawuf.
3) Menerangi jiwa dari kegelapan
Jiwa manusia selalu gelisah, sebagaimana firman
Allah. Swt:
Artinya: Kami jadikan manusia itu bersifat keluh
kesah.
Masalah materi sering menjadi sangat besar
pengaruhnya atas jiwa manusia. Benturan di dalam mencari dan mengejar materi
atau mengejar apa saja yang diinginkan manusia sering menjadi masalah bagi
manusia itu sendiri bahkan kemudian timbul menjadi penyakit. Penyakit-penyakit
seperti resah, cemas, patah hati sebagai akibat dari masalah-masalah di atas
(termasuk di dalamnya sifat-sifat buruk manusia seperti hasad, takabur dan
sebagainya) hanya dapat disembuhkan dengan obat yang datang dari ajaran-ajaran
agama, khususnya ajaran yang berobyekan bathin manusia yaitu akhlak tasawuf.
4) Memperteguh dan menyuburkan
keyakinan beragama
Hati akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu
disirami dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah. Kekuatan umat
Islam di masa rasul bukan karena kekuatan fisik dan senjata, tetapi ialah pada
kekuatan mental dan spiritualnya. Sebaliknya kemunduran umat Islam di masa
keemasannya bukan karena akibat musuh semata, tetapi karena hidup materialis
yang tidak lagi memperhatikan kebutuhan jiwa. Bila ajaran akhlak tasawuf
diberikan pada hamba Allah akan bertambah subur pula keimanannya. Segala amal
perbuatan akan membuahkan kebaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain
5) Mempertinggi akhlak manusia
Dengan memiliki hati yang suci dan bersih dan
selalu di sirami dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya maka akan semakin
tinggi akhlak manusia. Ajaran akhlakul karimah atau munjiyat di bahas secara
panjang lebar dalam akhlak tasawuf. Tujuannya adalah untuk membersihkan manusia
dari akhlaqul madzmumah atau al-Muhlikat. Pembersihan ini dinamai takhalli.
Bila manusia ini
telah kosong dari perangai-perangai tercela, maka memulainya dengan diisi dengan
akhlaqul al-karimah (akhlak yang terpuji) yang disebut takhalli. Takhalli
adalah menghiasi pribadi insan dengan keutamaan-keutamaan (akhlak yang mulia).
Bila seseorang telah dipenuhi perangai-perangai utama, niscaya terbukalah tirai
yang menghalanginya dari kebenaran Illahi. Bila tirai telah terbuka antara
manusia dengan Illahi dapatlah manusia itu mencapai kelezatan beribadah kepada
Tuhannya. Tersingkapnya tirai yang membatasi manusia dengan Tuhannya dinamakan
tajalli.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting
di dalam kehidupan manusia. Bila manusia tidak bermoral, maka turunlah martabat
dari kemanusiaannya. Inilah fungsinya mempelajari akhlak tasawuf.
Hal ini supaya
manusia tetap menempati martabatnya sebagai manusia yang ditugaskan Allah Swt
menjadi khalifah di muka bumi ini.
Adapun fungsi mempelajari akhlak
tasawuf yang sifatnya lebih tekhnis adalah sebagai berikut:
a) Untuk meningkatkan kemajuan rohani. Dalam hal
ini untuk menjaga kesetabilan mental spiritual dalam menghadapi segala
lika-liku kehidupan, termasuk di dalamnya godaan dan cobaan hidup. Tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mampu menghindarkan diri dari godaan atau cobaan
hidup itu. Untuk menghadapinya perlu kestabilan mental-spiritual yang baik.
b) Untuk menuntun ke arah kebaikan. Dalam kehidupan
ini hampir tidak terhitung apa yang akan dan sudah dikerjakan. Karena itu
diperlukan rambu-rambu agar tidak terjerumus ke dalam tindakan yang keliru.
Sepanjang hidup manusia tidak pernah terhindar dari jurang kekeliruan,
mengingat sehebat-hebatnya manusia tetap saja, berdasar penjelasan al-Qur’an,
diciptakan dalam keadaan atau kondisi dlaif (lemah).
c) Untuk menopang kesempurnaan iman. Lisan bisa
mengatakan “aku telah beriman”, tetapi dalam prakteknya iman senantiasa naik
dan turun yang disebabkan faktor eksternal yang dialami manusia dalam
kehidupannya. Agar iman seseorang relative stabil, perlu ditopang oleh
pelaksanaan akhlak yang konsisten.
d) Untuk mempertajam tanggung jawab eskatologis.
Yang dimaksud istilah “eskatologi” di sini adalah hal-hal yang menyangkut
setelah mati, seperti hari akhirat dengan segala perangkatnya (dosa, pahala,
surga, neraka dan sebagainya). Tanggung jawab eskatologis ini “lebih mengancam”
daripada sekedar ancaman pengucilan masyarakat, ancaman hokum dan sebagainya.
e) Untuk mempertajam tanggung jawab sesama dalam
kehidupan. Tanggung jawab ini misalnya tanggung jawab terhadap keluarga,
tetangga, rekan kerja, bangsa dan manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan
tanggung jawab itulah terdapat harga pribadi seseorang, yaitu apakah diri
seseorang itu berguna atau tidak.
f) Untuk menjaga martabat kemanusiaan seseorang.
Bahwa dalam diri setiap orang ada unsur sifat kebinatangan dan kemanusiaan,
sifat kemanusiaan yang menonjol adalah kesadaran untuk menyusun dan mau tunduk
pada peraturan. Dengan peraturan itu lalu lintas pergaulan menjadi lebih lancar
dan tidak gampang menimbulkan salah paham yang ujung-ujungnya berupa
perselisihan bahkan perang. Sedang sifat kebinatangan hanya berlaku hukum rimba
yaitu, siapa kuat dialah yang menang.
PERTEMUAN 7
KOMPONEN AKHLAK
TASAWUF
1. Sifat Tercela Dan Sifat Terpuji
Seorang hamba yang
ingin mendekatkan diri kepada Allah harus terlebih dahulu mengosongkan dirinya
dari akhlak yang tercela kemudian mengisinya dengan akhlak yang terpuji karena
Allah adalah Dzat Yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh hamba-Nya yang suci
jiwanya.
Berikut ini akan
diuraikan sifat-sifat tercela yang harus dikosongkan dalam diri manusia dan
mengisinya dengan si terpuji.
a. Macam-macam Sifat Tercela
Diantara akhlak tercela yang harus
dibuang dari jiwanya adalah:
1) Hub al-Dunya
Hub al-Dunya
menurut bahasa adalah mencintai dunia, adapun menurut istilah adalah mencintai
dunia yang disangka mulia dan di akhkat menjadi sia-sia.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa
hubb al-dunya berarti mencintai kehidupan dunia dengan melalaikan kehidupan
akhirat. Di sini timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan dunia? Segala
sesuatu yang tidak membawa manfaat di akhirat, menurut K.H Ahmad Rifa’i, itulah
yang dinamakan dunia, dan disebut juga dengan dunia haram. Dengan perkataan
lain bahwa dunia haram adalah hal-hal yang bersifat duniawi yang tidak
digunakan untuk mendukung taat beribadah kepada Allah, sehingga keduniawian
tersebut tidak bermanfaat untuk kehidupan di akhirat. Begitu juga harta banyak
yang halal tetapi tidak dibelanjakan di jalan Allah, seperti tidak dikeluarkan
zakatnya, tidak digunakan untuk infaq fi sabilillah, dan tidak digunakan untuk
shodaqoh, maka harta tersebut menjadi fitnah dan termasuk dunia haram.
Sejalan dengan
pendapat KH. Ahmad Rifa’i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu yang
memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada
manusia yang diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan
lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
(a) Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan
pahalanya kekal bersamanya sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak
tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun ilmu yang dimaksud di sini adalah
ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya af’alNya, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan langitNya, serta ilmu
yang disyari’atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang dimaksud di sini adalah
amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata.
(b) Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan
kelezatan kepada manusia yang langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak
memberikan pahala baginya di akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya
dengan melakukan segala macam perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan
hal-hal yang mubah akan tetapi melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong
dunia yang tercela.
(c) Segala sesuatu yang memberikan keuntungan
kepada manusia dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal
perbuatan akhirat, seperti sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain
sebagainya yang merupakan sarana pokok demi kelangsungan hidup manusia dan
kesehatannya agar dapat menghantarkan kepada ilmu dan amal, maka hal ini
tergolong akhirat karena makanan, pakaian, dan kebutuhan pokok tersebut
digunakan sebagai sarana untuk menolong amal perbuatan akhirat. Namun demikian,
jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar memperoleh keuntungan langsung di
dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk taqwa kepada Allah, maka hal ini
bukan tergolong akhirat melainkan tergolong dunia. Memperhatikan uraian di
atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dunia ialah segala
sesuatu yang tidak dijadikan sarana untuk takwa kepada Allah dan tidak membawa
manfaat di akhirat.
Seseorang yang mencintai dunia akan mengakibatkan
dirinya banyak melakukan kesalahan dan berbuat dosa seperti berbuat maksiat,
keji, dan munkar, karena ia melupakan Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw
menjelaskan: “Cinta terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan”.
Dijelaskan juga dalam al-Qur’an: “Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena
mendapat siksaan yang sangat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai
kehidupan dunia dari pada kehidupan akbirat”.
Dengan demikian
setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup
di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan,
pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan
untuk menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati seorang mukmin tidak
boleh bergantung kepada kemewahan dunia karena hal tersebut dapat melupakan
Allah dan melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat. Berkaitan hal ini K.H Ahmad
Rifa’i mengatakan: Wajib berpaling dari dunia maksiat sunat berpaling dari
dunia halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh sunat mengambil dunia halal
yang dijadikan pertolongan untuk melakukan kebijakan yang bermanfaat di akhirat
wajib mengambil dunia yang diperlukan yang halal jika tentu menolong taat
terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat derajad.
Bait nazam di atas
menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia sebagai
berikut :
a) Berpaling dari dunia maksiat,
hukumnya wajib.
b) Berpaling dari dunia halal, hukumnya
sunat.
c) Meninggalkan dunia makruh, hukumnya
juga sunat.
d) Mengambil dunia halal yang digunakan untuk
menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di akhkat, hukumnya juga sunat.
e) Mengambil dunia halal sekedar hajat jika
benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat melaksanakan kewajiban demi
mengangkat derajad keimanan, hukumnya wajib.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i di atas
sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi bahwa dunia itu tak perlu dibenci
secara berlebihan karena dunia merupakan anugrah Allah yang perlu diterima,
dinikmati, dan disyukuri, bukan harus diingkari. Berkaitan dengan hal ini
Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya: Dunia adalah kebun bagi
akhirat.
2) Al-Tham’
K.H. Ahmad Rifa’i
memberikan definisi al-tham’ sebagai berikut: Yang dimaksud tham’ menurut
tarajumah adalah rakus hatinya. Sedang menurut istilah adalah sangat berlebihan
cintanya terhadap dunia tanpa memperhitungkan haram yang besar dosanya.
Definisi di atas dapat dipahami bahwa
tham' berarti sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap keduniawian, sehingga
tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh
keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang penting dapat memperoleh
kemewahan hidup di dunia.
Sifat rakus
seperti itu, sangat tercela dan membahayakan bagi manusia. Karena ia dapat
mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri dan permusuhan antar sesama manusia,
serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa kepada Allah
dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat. Oleh sebab itu, orang
yang sangat rakus terhadap keduniawian menjadi orang yang paling hina di sisi
Allah. Sebab ia tidak lagi menyadari bahwa dirinya itu hamba Allah yang
seharusnya mengabdi kepada-Nya, melainkan menjadi budaknya dunia. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Ibrahim bin Ismail dalam kitabnya Syarb Ta’lim
al-Muta’lim berikut ini:
Artinya:
Itulah dunia lebih sedikit dari segala
yang sedikit, dan orang yang rakus kepadanya lebih hina dari orang-orang yang
hina.
Sesuai pula dengan hadist Nabi yang
diriwayatkan Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Sahal bin Sa’ad bahwa
Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya melewati seekor kambing yang sudah
mati, lalu beliau bersabda:
Artinya: Tidaklah kalian melihat
kambing ini hina bagi pemiliknya? Para sahabat berkata: karena kehinaannya,
mereka melempar kambing itu Rasulullah bersabda: Demi Dzat yang menguasai
jiwaku, sesungguhnya dunia itu lebih hina bagi Allah dari pada kambing ini bagi
pemiliknya. Seandainya dunia ini seimbang di sisi Allah dengan sayap seekor
nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir seteguk air
dari dunia. Menurut al-Ghazali hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi.
Orang yang sangat
rakus terhadap keduniaan demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, tidak akan pernah
merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa, sebagaimana
diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Perumpamaan orang yang rakus
mengejar keduniawian adalah seperti orang yang meminum air laut setiap
bertambah meminumnya, maka semakin bertambah dahaga yang tidak ada rasa puasnya
bahkan sampai datang ajalnya kepada orang yang meminum air laut yang asin.
Bait nazham di
atas mengibaratkan orang yang rakus terhadap keduniawian seperti orang yang
minum air laut. Semakin banyak ia minum, maka semakin bertambah kuat rasa
dahaganya, dan akhirnya ia mati karena perutnya penuh air. Seperti inilah orang
yang rakus terhadap keduniawian. Semakin banyak mengenyam kemewahan dunia, maka
ia semakin tergila-gila untuk mengejar kemewahan tersebut. Ia tenggelam dalam
kesibukan duniawi yang diduganya dapat memberikan kebahagiaan hidup yang abadi.
Pada akhirnya ia lalai kepada Allah dan lalai terhadap kebahagiaan hidup yang
sejati dan abadi di akhkat.
3) Itba’ al-Hawa
Dalam kitab
Ri’ayat al-Himmat diungkapkan definisi Itba’ al-Hawa sebagai berikut: Itba’
al-Hawa menurut bahasa berarti mengikuti hawa nafsu adapun menurut Istilah
syara’ berarti orang lebih mengikuti jeleknya hati yang diharamkan oleh hukum
syari’at itulah orang mengikuti hawa maksiat.
Definisi di atas
dapat dipahami bahwa Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu untuk
melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. Orang yang
mengikuti hawa nafsu, demikian menurut K.H. Ahmad Rifa’i, berarti buta mata
hatinya karena ia tidak mengetahui adanya Allah. Orang yang seperti ini akan
tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia melupakan
kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat. Pendapat K.H. Ahmad Rifa’i
ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Shad ayat 26:
وَلَا
تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ
عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya :
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ia menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat siksa yang sangat pedih karena mereka melupakan
hari penghitungan.
Oleh karena itu, hawa nafsu harus
dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan
maksiat yang melanggar hukum syara’. Karena hawa nafsu merupakan pangkal dari
perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim:
Artinya :
Setiap perbuatan jahat itu berasal dari
kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.
4) Al-‘Ujb
Definisi ‘Ujb
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Ujb menurut bahasa ialah
membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah ialah mewajibkan
keselamatan badan dari siksa akhirat. Defenisi di atas menunjukkan bahwa ‘ujb
berarti membanggakan diri karena merasa dapat terhindar dari siksa akhirat,
bahkan menganggap wajib dirinya selamat dari siksa akhirat.
Sifat ‘ujb ini
tercermin pada rasa tinggi hatid (superiority complex) dalam berbagai bidang,
baik dalam bidang amal ibadah, keilmuan, kesempurnaan moral, maupun yang
lainnya. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i ‘ujb hukumnya haram dan termasuk dosa besar
karena merusak iman, sebagaimana diungkapkan dalam bait Nazham berikut ini:
‘Ujb hukumnya haram dan dosa besar dan sesungguhnya ulama Bal’am rusak imannya
seperti apa diakhiri dengan kekufuran.”
Ungkapan di atas
menegaskan bahwa ‘ujb merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Oleh sebab itu,
sifat ‘ujb wajib dihindari dan ditinggalkan karena dapat merusak iman.
Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah contoh yaitu Bal’am seorang ulama yang
beriman. Karena ia memiliki sifat ‘ujb maka rusaklah imannya dan pada akhirnya
ia tergolong orang kafir.
Pendapat K.H.
Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Al-Bazzar, Ibn Hibban dan al-Baihaqi dari Anas:
Artinya:
Seandainya kamu tidak melakukan dosa,
niscaya aku (Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa yang lebih besar dari 'ujb
Dari hadits di
atas dapat dipahami bahwa ‘ujb merupakan perbuatan dosa yang sangat berbahaya
karena seseorang sering tidak sadar melakukannya. Dengan perkataan lain,
merupakan perbuatan dosa yang sangat halus karena ia tidak nampak oleh mata,
yang tahu hanya Allah dan diri pelakunya. Jika diperbandingkan antara dosa ‘ujb
dan dosa-dosa lainnya yang nampak oleh mata seperti menyembah berhala (syirik),
durhaka kepada orang tua, melakukan saksi palsu, dan berbuat zina, maka dosa
‘ujb lebih berbahaya.
Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh
al-Thabrani dari Anas, Rasulullah Saw juga bersabda:
Artinya:
Tiga perkara yang membinasakan, yaitu:
kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang pada
dirinya.
Hadits di atas menunjukan bahwa sifat
‘ujb termasuk salah satu dari tiga hal yang dapat merusak iman. Oleh karena
itu, sesungguhnya celaka orang yang beriman yang memiliki sifat ‘ujb karena
sifat ‘ujb dapat merusak iman, sehingga ia menjadi yang merugi di hari
kemudian. Dalam surat al-‘Araf ayat 99, Allah Berfirman:
أَفَأَمِنُواْ
مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya :
Maka apakah mereka merasa aman dari
azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa dari azab Allah
kecuali orang-orang yang merugi.
Hakekat ‘ujb,
demikian al-Ghazali, adalah kesombongan yang terjadi di dalam batin seseorang
karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta dan lain sebagainya
pada dirinya. Jika seseorang takut kesempurnaan tersebut akan lenyap dan
dicabut oleh yang berhak (Allah), maka berarti ia tidak bersifat ‘ujb. Kemudian
jika ia merasa gembira karena ia menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan
tersebut sebagai nikmat Allah dan karunia-Nya, maka berarti ia tidak bersifat
‘ujb. Akan tetapi sebaliknya, jika ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai
sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan
tersebut kan lenyap, dan tanpa memikirkan siapa pemberi kesempurnaan tersebut
(Allah), maka inilah yang dimaksud dengan ‘ujb. Uraian al-Ghazali ini dapat
dipahami bahwa 'ujb berarti menganggap besar terhadap suatu kemampuan atau
kesempurnaanjui seseorang tidak disandarkan kepada Dzat Pemberi kemampuan atau
kesempurnaan tersebut, melainkan ia menganggap bahwa kemampuan atau
kesempurnaan tersebut berasal dari dirinya sendiri.
Lebih lanjut
al-Ghazali mengungkapkan bahwa sifat ‘ujb sangat membahayakan bagi diri seorang
mukmin karena ia mengajak kepada lupa dosa kepada Allah dan mengacuhkannya.
Dosa yang pernah diperbuatnya tidak perlu diingat-ingat karena dianggapnya
masalah kecil bukan masalah besar. Ia membanggakan diri kepada Allah dengan
amal ibadah yang telah dikerjakannya, dengan kesempurnaan ilmu yang telah
dimilikinya, dengan harta kekayaan yang telah digunakan di jalan Allah, dan
lain sebagainya. Dengan demikian ia menyangka bahwa dirinya memperoleh tempat
di sisi Allah, dan menyangka bahwa dirinya dapat selamat dari siksa akhirat.
Namun demikian, ia melupakan siapa sebenarnya yang memberi kekuatan untuk
melakukan ibadah, siapa sebenarnya yang memberi karunia ilmu, siapa sebenarnya
yang memberi kekayaan kepadanya, dan lain sebagainya. Padahal jika diteliti
secara seksama, maka tidak ada artinya di sisi Allah kebanggaan seorang ‘abid
dengan ibadahnya, kebanggaan orang yang berilmu dengan ilmunya, kebanggaan
orang kaya dengan kekayaannya, dan seterusnya, karena semua itu adalah karunia
dari anugerah Allah, sedang manusia hanya sekedar tempat dilimpahkannya
karunia, anugerah dan kemurahan Allah Swt.
Dengan demikian,
sifat ‘ujb mengajak hati seseorang mukmin untuk mengingkari nikmat-nikmat Allah
yang telah diberikan kepadanya (kufr al-ni’mat). Orang yang mengingkari
nikmat-nikmat Allah bukannya akan memperoleh pahala, melainkan akan memperoleh
siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya. Sebagaimana peringatan Allah dalam surat
Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya:
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu
memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu). Maka sesungguhnya
azabKu sangat pedih.
Memperhatikan uraian di atas dapat
dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i sependapat dengan al-Ghazali bahwa sifat ‘ujb
merupakan dosa besar karena ia merusak iman seseorang. Oleh karena itu hukumnya
haram.
5) Al-Riya’
K.H. Ahmad Rifa’i
memberikan definisi al-Riya’ sebagai berikut: Riya’ menurut bahasa ialah
memperlihatkan amal kebajikannya kepada manusia, adapun menurut istilah ialah
melakukan ibadah dengan tujuan di dalam batinnya karena demi manusia, dunia
yang dicari tujuan ibadah tidak sebenarnya karena Allah.
Dari definisi di
atas dapat dipahami bahwa al-riya’ berarti memperlihatkan amal kebajikan kepada
orang lain. Dengan demikian bathin seseorang dalam melaksanakan amal ibadah
atau amal kebajikan tidak bertujuan semata-mata karena Allah, melainkan karena
manusia, yakni dengan memperlihatkan amal ibadahnya kepada manusia agar
memperoleh pujian, penghargaan, kedudukan, popularitas, dan lain sebagainya
dari mereka dengan tujuan ingin mengejar keduniawian semata.
Senada dengan
definisi yang dikemukakan K.H. Ahmad Rifa’i diatas, al-Ghazali menjelaskan
bahwa al-riya’ berasal dari kata al-ru’yat yang berarti melihat. Pada
dasaranya, al-riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka beberapa hal kebajikan. Hanya saja kedudukan di
hati manusia itu kadang-kadang dicari dengan amal-amal perbuatan selain ibadah,
dan kadang-kadang dicari dengan amal-amal ibadah. Dengan perkataan lain, yang
dimaksud dengan al-riya’ adalah keinginan seseorang untuk memperoleh kedudukan
di hati manusia dengan cara mentaati perintah-perintah Allah.
Dengan demikian,
inti kedua definisi di atas menunjukan bahwa al-riya’ berarti niat seseorang
dalam melaksanakan ibadah bukan karena Allah melainkan karena manusia.
Perbuatan riya’ ini, demikian K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan perbuatan dosa besar
dan haram hukumnya, sebagaimana diungkapkan dalam lanjut bait nazam di atas:
Itulah dosa besar di dalam hati dan hukumnya haram juga merupakan tanda-tanda
perbuatan orang kafir munafik orang beribadah wajib waspada menjauhi haramnya riya’
jangan sampai dilakukan.
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa
al-riya’ termasuk dosa besar dan hukumnya haram. Orang yang memiliki sifat ini
berarti ia mengikuti perbuatan orang kafir dan munafiq. Oleh sebab itu, sifat
riya’ harus ditinggalkan bagi orang mukmin, agar keimanannya tidak rusak. Hal
ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Hakim
dari Syadad bin Aus: Aku (Nabi) sangat mengkhawatirkan umatku melakukan
perbuatan syirik.
Padahal mereka tidak menyembah berhala,
matahari, bulan, batu, akan tetapi mereka berbuat riya’ (memperlihatkan)
perbuatan mereka pada orang lain.
Hadits di atas
dapat di pahami bahwa perbuatan riya’ seimbang dengan perbuatan syirk. Mengapa
demikian? Karena jika seorang hamba dalam melakukan ibadah kepada Allah
disertai dengan riya’ maka berarti ia telah menyekutukan Allah dan ibadahnya,
maka amal ibadahnya tidak diterima di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Malik dari Abu Hurairah: Barang siapa
melakukan suatu perbuatan karena Aku (Allah) yang di dalam perbuatan itu ia
menyekutukanKu, maka semua perbuatan itu untuknya, dan Aku bebas dari perbuatan
itu. Aku adalah paling kaya di antara semua yang kaya dari kesekutuan.
Pada hadits lain
yang diriwayatkan oleh Ahmad bin al-Baihaqi dari Mahmud bin Lubaid, Rasulullah
bersabda: Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terhadapmu adalah syriik
kecil. Para sahabat bertanya: apa yang dimaksud dengan syirik kecil? Rasulullah
bersabda: Riya’. Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat ketika membalas
hamba-hambaNya dengan amal perbuatan mereka: pergilah kamu kepada orang-orang
yang kamu perlihatkan amal perbuatanmu kepada mereka di dunia. Maka lihatlah.
Apakah kamu mendapatkan balasan dari mereka?
Dalam pada itu K.H.
Ahmad Rifa’i menggolongkan riya’ ke dalam dua tingkatan, sebagaimana
diungkapkan dalam bait nazham berikut ini: Dan riya’ itu ada dua macam.
Pertama, riya’ khalish namanya seperti halnya tidak menjadikan dekat kepada
Allah (qurbat) di dalam hatinya melainkan tujuannya karena demi manusia. Kedua,
riya’ syirk tempatnya seperti halnya menjadikan niat untuk dekat kepada Allah
(qurbat) karena memenuhi permintaan Allah yang menjadi tujuan dan sekutu di
dalam batin demi karena manusia dan berarti bercampur.
Ungkapan di atas dapat dipahami bahwa
riya’ terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
a) Riya’ Khalish, yakni niat seseorang dalam
melaksanakan ibadah semata-mata untuk memperoleh pujian, kedudukan dan lain
sebagainya dari manusia, serta tidak bertujuan untuk dekat dengan Allah.
b) Riya’ Syirk, yakni niat seseorang dalam
melaksanakan ibadah karena terdorong untuk memenuhi permintaan Allah serta
terdorong pula untuk memperoleh pujian dan kedudukan dari manusia. Dengan lain
perkataan, niatnya bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia.
Memperhatikan
penggolongan al-riya’ tersebut, dapat dikatakan bahwa riya’ syirk nampaknya
lebih ringan dosanya dibanding dengan riya’ khalish, karena dalam riya’ syirk
masih terlintas niat di dalam hati untuk memenuhi perintah Allah, akan tetapi
sudah bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia. Namun
demikian kedua macam riya’ tersebut merupakan dosa besar.
Disamping kedua
macam riya’ tersebut di atas, K.H. Ahmad Rifa’i masih menggolongkan riya’
menjadi dua bagian-lagi, riya’ jali dan riya’ khafi. Kedua macam riya’ tersebut
sulit dihindari kecuali oleh orang yang sudah mencapai derajat mengenal Allah
(Arif bi Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim: Tidak ada
yang dapat selamat dari riya’ jali dan riya’ khafi kecuali orang yang arif
meng-Esakan Allah, karena Allah telah mensucikan mereka dari syirik sekecil
apapun.
Sedangkan riya’ khafi (riya’ yang
tersembunyi) terbagi menjadi dua tingkatan:
a) Riya’ yang lebih sedikit tersembunyi dari pada
riya’ jali, yaitu riya’ yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal
ibadah dengan tujuan semata-mata demi memperoleh pahala, melainkan riya’
tersebut meringankan seseorang untuk melakukan amal ibadah, yang dengannya ia
berkehendak menuju kepada Allah. Misalnya orang yang membiasakan shalat
tahajjud setiap malam dan ia merasa berat. Apabila ada tamu di rumahnya, maka
ia merasa tekun dan merasa ringan dalam menjalankan shalat tahajjud.
b) Riya’ yang lebih tersembunyi lagi ialah riya’
yang tidak membekas pada amal perbuatan, serta tidak memudahkan dan meringankan
seseorang untuk melakukan amal ibadah, akan tetapi ada sesuatu yang membekas di
dalam bathin. Oleh karena riya’ tingkatan ini tidak membekas pada amal
perbuatan, maka sulit untuk mengetahui riya’ ini kecuali melalui
tanda-tandanya. Adapun tanda-tandanya yang paling jelas adalah bathin seseorang
merasa senang dan gembira, jika ketaatannya kepada Allah dilihat oleh manusia.
6) Al-Takabbur
Definisi
al-takabbur dikemukakan dalam kitab Abyan al-Hawa’ij sebagai berikut: Takabbur
menurut bahasa berarti sombong karena merasa luhur, adapun menurut makna
istilah adalah menetapkan kebijakan pada diri sendiri ada sifat baik dan luhur
sebab banyak harta atau kepandaiannya.
Definisi di atas
menunjukan bahwa takabbur berarti menganggap dirinya besar dan mulia (sombong)
yang disebabkan oleh adanya kebajikan atau kesempurnaan pada dirinya baik
berupa harta banyak yang dimilikinya, ilmu yang dikuasainya, maupun hal-hal
lainnya.
Sedangkan menurut Rifa’i takabbur adalah
menolak kebenaran ilmu dan menghina manusia yang tidak ada kejelekannya itulah
yang dinamakan takabbur dosa besar bathinnya orang yang menghina agama Allah
menjadi kafir.
Pendapat K.H.
Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim,
Abu daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah: Allah ta’ala berfirman:
“Kesombongan itu kain selendang-Ku dan kebesaran itu kain sarung-Ku.
Barangsiapa menentang (menyaingi) Aku dengan melakukan dua hal tersebut,
niscaya Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan tidak Aku pedulikan”
Pada hadits lain diriwayatkan oleh
Ahmad dan Baihaqi dan Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa
di dalam hati riya’ ada kesombongan sekecil apapun, Niscaya Allah
menelungkupkan wajahnya ke dalam api neraka”.
7) Al-Hasd
Definisi al-hasd
diungkapkan dalam kitab Ri’ayat al-Himmat sebagai berikut: Hasd menurut bahasa
berarti dengki, sedang istilah syara’ berarti, mengharapkan sirnanya kenikmatan
Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu, ibadah yang sah
dan jujur, harta, maupun yang semisalnya.Sementara al-Ghazali memberikan
definisi, hasd adalah benci kepada kenikmatan dan menyukai hilangnya kenikmatan
itu dari orang Islam yang diberi kenikmatan tersebut. Dengan demikian hasd berarti
mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain.
Hasd harus
dihindari dan ditinggalkan karena merupakan dosa besar dan haram hukumnya.
Orang yang memiliki sifat hasd akan disiksa di neraka Jahim, sebagaimana
diungkapkan dalam lanjut bait nazham: Adalah dosa besar wajib
mundur/meninggalkannya kemudian taubat, dosanya akan lebur orang yang hasd
disiksa di neraka Jahim takutlah terhadap siksa yang abadi berlindunglah kepada
Allah dari sifat hasd yang haram menurut hukum syara’. Ungkapan di atas menegaskan
bahwa hasd hukumnya haram karena sifat hasd menentang ketentuan Allah (qadr),
dalam arti tidak ridha terhadap kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah
bagi-bagikan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini dapat dipahami dari hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Anas:
Artinya: Kemiskinan itu nyaris menjadi
kekufuran, dan kedengkian itu nyaris mengalahkan ketentuan Allah (qadr).
Dalam pada itu
hasd dapat menghancur leburkan seluruh amal kebajikan yang telah dilakukan oleh
seorang hamba, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu
Hurairah:
Hindarilah sifat hasd, karena sifat
hasd itu memakan amal-kebajikan seperti api yang memakan kayu bakar. Inilah
diantara hal-hal yang menyebabkan hasd menjadi hukumnya haram.
8) Al-Sum’ah
Definisi al-sum’ah
dikemukakan oleh K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: Sumah menurut bahasa adalah
diperdengarkan kepada orang lain, adapun menurut istilah adalah melakukan
ibadah dengan benar lahiriyah ikhlas karena Allah Yang Maha Pengasih dan Luhur
kemudian amal kebajikannya diceritakan kepada orang lain supaya orang lain
memuliakan terhadap dirinya, itu sudah bercampur dengan haram. Hatinya tidak
ridha menuju kepada Allah melainkan bathinnya menuju karena dunia itulah
sum’ah, haram hukumnya sesudah melakukan amal kebajikan.
Dari definisi di
atas dapat dipahami bahwa sum’ah berarti amal ibadah yang telah dilakukan oleh
seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan niat yang ikhlas
karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan atau
diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan menghormatinya.
Perbuatan seperti itu hukumnya haram, karena ia telah mencampur adukan antara
niat ikhlas karena Allah dan niat ingin mendapat penghormatan dari manusia. Hal
ini sejalan dengan ungkapan Al-Ghazali:
Artinya :
Janganlah kamu menampak-nampakkan sifat
keutamaan ilmu dan ketaatan.
Allah berfirman dalam surat al-Najm,
ayat 32:
فَلَا
تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ
Artinya :
Maka janganlah kamu kamu mengatakan
dirimu suci.
Disini timbul
pertanyaan: bagaimana jika seseorang menampakan sifat keutamaannya baik ilmunya
yang luas, budi pekertinya yang luhur, ketaatannya dalam beribadah kepada
Allah, maupun yang lainnya dengan tujuan agar orang lain mengikuti jejaknya
atau agar orang lain mau melakukan perbuatan-perbuatan yang utama.
Dalam hal ini K.H. Ahmad Rifa’i
menjelaskan bahwa sum’ah yang dilakukan dengan niat yang baik, yakni untuk
memberi nasehat agar orang lain mau meninggalkan perbuatan yang tercela dan
melaksanakan perbuatan yang terpuji atau untuk memberi contoh agar orang lain
mau mengikuti jejaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang utama, maka
sum’ah seperti ini diperbolehkan, bahkan pelakunya akan memperoleh pahala yang
besar. Syaratnya jangan sampai terbetik di dalam hati untuk memperoleh
penghormatan dari manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat
ad-Dhuha:
وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya :
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka
hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa sum’ah tergantung dari niatnya. Jika sum’ah dengan niat
demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji. Begitu pula
sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan keutamaan dan
keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah tersebut
menjadi tercela.
PERTEMUAN 8
b. Macam-macam Sifat Terpuji
Di antara akhlak terpuji yang harus
diisi dalam jiwa manusia adalah:
1) Az-Zuhd
Menurut pandangan sufi, hawa nafsu
duniawi merupakan sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang
terhadap hawa nafsunya mengakibatkan kebrutalan tindakan manusia dalam mengejar
kepuasan nafsu. Agar manusia dapat terbebas dari godaan dan pengaruh hawa
nafsunya, maka ia harus melakukan zuhd.
Dalam mengartikan zuhd, ternyata para
sufi berbeda-beda sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Namun secara
umum dapat diartikan bahwa zuhd merupakan suatu sikap melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.
Sementara itu K.H. Ahmad Rifa’i mengartikan zuhd sebagai berikut: Zuhd menurut
terjemah bahasa jawa adalah bertapa di dunia, menurut istilah syara’ adalah
bersiap-siap di dalam hati untuk beribadah memenuhi kewajiban yang luhur
sebatas kemampuan menghindar dari dunia haram zhahir dan batin menuju kepada
Allah dengan benar mengharap kepada Allah untuk memperoleh surga-Nya yang
luhur. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa zuhd berarti kesediaan hati
untuk melaksanakan ibadah dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban syari’at,
meninggalkan dunia yang haram, dan secara lahir batin hanya mengharap ridha
Allah Swt, demi memperoleh surgaNya. Dijelaskan pula bahwa zuhd bukan berarti
mengosongkan tangan dari harta, melainkan mengosongkan hati dari ketergantungan
pada harta. Karena keduniawian dapat memalingkan hati manusia dari Allah Swt.
Memperhatikan uraian tentang pengertian
zuhd atas, tampak secara jelas bahwa ajaran zuhd K.H. Ahmad Rifa'i masih
berkaitan erat dengan tujuan syari’at. Berbeda dengan pengertian zuhd yang
dikemukakan oleh sebagian sufi, seperti Abu Ali al-Daqqaq dan Yahya bin Mu’adz
al-Razi mengartikan zuhd sebagi berikut:
Artinya :
Zuhd adalah engkau meninggalkan
keduniawian secara total, jangan berkata bagaimana aku membangun sebuah Ribath
atau membangun sebuah masjid.
Pengertian zuhd di atas sangat
berlebihan karena tidak hanya sampai batas meninggalkan perbuatan-perbuatan
maksiat dan perbuatan-perbuatan yang mubah, melainkan sampai kepada
meninggalkan perbuatan yang baik.
Sementara itu, menurut Ibn Taimiyah
zuhd itu ada dua macam, yaitu:
a) Zuhd yang sesuai dengan syariat’, adalah
meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
b) Zuhd yang tidak sesuai dengan syari’at, adalah
meninggalkan segala sesuatu yang dapat menolong seorang hamba untuk taat
beribadah kepada Allah.
Pengertian zuhd yang sejalan dengan
syari’at sebagaimana firman Allah dalam surat Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya :
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi.
Adapun tanda-tanda orang yang telah
memiliki sikap zuhd adalah:
a) Senantiasa melakukan amal shaleh
b) Jika bertambah ilmunya, maka harus
bertambah pula sifat taatnya.
c) Tidak tergiur dengan keduniawian, karena
keduniawian merupakan tipu daya, godaan dan fitnah
d) senantiasa berbuat untuk kepentingan akhirat,
karena Allah berjanji akan memberikan kecukupan untuk kepentingan dunia dan
agamanya
e) Tidak merasa tentram dan tenang jika ketika
melihat segala yang wujud di dunia ini hatinya tidak hadir di hadapan Allah.
f) Jika dipuji oleh manusia, maka hatinya menjadi
susah karena khawatir kalau-kalau amal kebajikannya berubah menjadi riya’ dan
haram.
Adapun keutamaan orang yang melakukan
Zuhd adalah:
(1) Pahala amal ibadah yang dilakukan
oleh seseorang zahid dilipat gandakan oleh Allah Swt.
(2) Seorang yahid akan memperoleh ilmu
dan petunjuk langsung dari Allah tanpa belajar.
Uraian di atas
dapat di pahami bahwa inti zuhd adalah bukan meninggalkan keduniawian secara
total, melainkan meninggalkan keduniawian yang tidak dapat membawa manfaat di
akhirat.
2) Al-Qana’ah
Definisi Qana’ah
menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah hatinya tenang memilih ridha Allah mengambil
keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat memenuhi
kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.
Dalam menguraikan sifat qana’ah ini
K.H. Ahmad Rifa’i mengaitkan dengan kefakiran (kemiskinan). Keutamaan orang fakir
yang memiliki sifat qana’ah sebagai berikut:
a) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah,
derajatnya lebih tinggi di hadapan Allah dibandingkan dengan orang kaya yang
tidak memiliki sifat qana’ah.
b) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, lebih
dahulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat
qana’ah meskipun sama-sama beribadah.
c) Orang fakir yang secara lahiriyah sedikit
melakukan amal ibadah akan memperoleh pahala yang besar dari pada orang kaya
yang secara lahiriyah banyak melakukan amal ibadah dan banyak bersedekah,
karena orang fakir itu memiliki sifat qana’ah artinya telah ridha untuk
berpaling dari keduniawian.
3) Al-Shabr
Salah satu sikap
sufi yang fundamental bagi para sufi dalam usahanya untuk mencapai tujuan adalah
shabr. Menurut K.H. Ahmad Rifa’i, Shabr secara bahasa adalah menanggung
kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara yang pertama
menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang
kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat zhahir
bathin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa
musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar (Rifa’i, Riayat, Juz
II:30).
Definisi di atas dapat dipahami bahwa
sabar merupakan kemampuan diri dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, yang
antara lain:
(a) Kemampuan untuk menghadapi kesulitan dalam
melaksanakan ibadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban syariat dengan
sungguh-sungguh.
(b) Kemampuan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan
maksiat yang disertai dengan taubat baik secara lahir maupun bathin
(c) Kemampuan untuk menghadapi kesulitan ketika
tertimpa musibah tanpa berkeluh kesah.
Orang mukmin yang sabar dalam menghadapi berbagai
macam kesulitan sebagaimana tersebut di atas akan memperoleh pahala yang tak
terhingga dari sisi Allah Swt. Hal ini sesuai janji Allah dalam surat al-Zumar
ayat 10:
إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Ungkapan K.H. Ahmad Rifa’i di atas
sejalan dengan perkataan al-Ghazali:
Artinya :
Sabar itu adalah setengah dari iman.
4) Al-Tawakkal
K.H. Ahmad Rifa’i
memberikan definisi al-Tawakal sebagai berikut, Tawakkal bukan berarti hanya pasrah
kepada Allah tanpa melakukan ikhtiar dan meninggalkan usaha mencari rizki
sekedarnya melainkan sebatas kemampuan tidak boleh tidak harus berusaha
memerangi hawa nafsu lainnya yang mengajak kepada kerakusan terhadap dunia
karena hal ini (rakus terhadap dunia) menjadi pasukan hawa nafsu sendiri juga
menjadi fitnah yang sangat buruk dan tidak hilang tawakkal seseorang yang
berusaha mencari obat untuk menyembuhkan sakitnya juga wajib menolak maksiat
mencari rizki untuk menolong ibadah.
Ungkapan diatas menunjukan bahwa
tawakal bukan berarti hanya pasrah menunggu ketentuan Allah tanpa melakukan
ikhtiar serta meninggalkan usaha mencari rizki secara total. Tetapi tawakal
adalah berserah diri kepada Allah yang disertai dengan ikhtiar dan usaha
mencari rizki seperlunya untuk keperluan ibadah kepada Allah, serta memerangi
hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan dan ketamakan terhadap keduniawian,
karena hal tersebut merupakan fitnah yang sangat buruk dan dapat membawa
kesengsaraan manusia. Oleh karena itu seseorang yang tertimpa musibah sakit,
misalnya, maka ia tidak berdiam diri hanya menunggu ketentuan Allah, melainkan
harus berusaha mencari obat terlebih dahulu, baru kemudian sepenuhnya kepada
ketentuan Allah. Dengan demikian tawakal bukan berarti berserah diri hanya
menunggu ketentuan Allah melainkan sifat yang menjiwai usaha seseorang. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Muhammad bin Ibrahim:
Artinya:
Barangsiapa mengetahui bahwa segala
urusan itu berada di tangan Allah, maka ia akan berserah diri sepenuhnya kepada
Allah.
Dijelaskan pula, bahwa manusia harus
berserah diri kepada Allah semata, tidak boleh berserah diri kepada selain
Allah, karena dengan berserah diri kepada Allah ia akan mendapat petunjuk jalan
yang lurus. Jika manusia berserah diri kepada selain Allah, maka ia akan
menjadi sesat dan akan menambah dosa yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat Hud ayat 56:
إِنِّي
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ
بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Sesungguhnya aku berserah diri kepada
Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada seekor binatang melata pun melainkan dia
yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.
5) Al-Mujahadah
K.H. Ahmad Rifa’i memberikan definisi
al-Mujahadat sebagai berikut: Mujahadat menurut bahasa berarti
bersungguh-sungguh terhadap suatu perbuatan yang dituju menurut istilah berarti
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah-perintah Allah memenuhi
kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan sekuat tenaga, baik secara lahir maupun
bathin.
Dengan perkataan lain, mujahadah
berarti bekerja keras dan berjuang melawan keinginan hawa nafsu, berjuang
melawan bujukan syaitan, berjuang menjauhi godaan-godaan syaitan, dan berjuang
menundukkan diri agar tetap di dalam batas-batas syara’ untuk mentaati
perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya. Hal ini senada
dengan ungkapan al-Syarqawi: bahwa pangkal setiap kemaksiatan, syahwat, dan
kelengahan adalah menuruti hawa nafsu. Sedangkan pangkal setiap ketaatan,
kesadaran, kehati-hatian adalah tidak menuruti hawa nafsu.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i
menjelaskan bahwa mujahadah tidak terbatas hanya memerangi musuh bathiniah
(hawa nafsu), akan tetapi juga mencakup bersungguh-sungguh dalam memerangi
musuh lahiriyah, yakni orang kafir yang nyata-nyata hendak menghancurkan Islam.
Memerangi orang kafir semacam ini merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam
(Rifa’i, Riayat, Juz II:137). Sebagaimana dalam surat al-Ankabut ayat 69:
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami Tunjukan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.
6) Al-Ridha
Definisi al-Ridha
menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut: Ridha menurut bahasa adalah
menerima kenyataan dengan suka hati adapun menurut istilah adalah menerima
segala pemberian Allah dan menerima hukum Allah, yakni syari’at wajib
dilaksanakan dengan ikhlas dan taat dan menjauhi kejahatan maksiat dan menerima
terhadap berbagai macam cobaan yang datang dari Allah dan yang ditentukanNya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami
bahwa ridha berarti menerima dengan tulus segala pemberian Allah, hukumNya
(syari’at), berbagai macam cobaan yang ditakdirkanNya, serta melaksanakan semua
perintah dan meninggalkan sernua laranganNya dengan penuh ketaatan dan
keikhlasan, baik secara lahir maupun bathin.
Seorang mukmin
harus ridha terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada hambanya
karena segala sesuatu tersebut merupakan pilihan yang paling utama yang
diberikan Allah pada hambanya. Sehingga tanda-tanda orang mukmin yang sah
imannya diantaranya adalah orang mukmin yang ridha dalam menerima segala hukum
Allah, perintah, larangan, dan janjiNya. Hal ini sejalan dengan Hadits Qudsi
yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dan Ibnu Hihban dari Anas: “Barang siapa
tidak ridha terhadap ketentuan-ketentuan-Ku, tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Ku,
dan tidak sabar terhadap cobaan-cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku
dan carilah Tuhan selain Aku”.
7) Al-Syukr
Definisi syukr
menurut K.H. Ahmad Rifa’i, secara bahasa adalah senang hatinya sedang menurut
istilah adalah mengetahui nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah yakni nikmat
iman dan taat yang maha luhur memuji Allah, Tuhan yang sebenarnya yang
memberikan sandang dan pangan kemudian nikmat yang diberikan oleh Allah itu
digunakan untuk berbakti kepadaNya sekurang-kurangnya memenuhi kewajiban dan
meninggalkan maksiat secara lahir dan bathin sebatas kemampuan.
Dari definisi di
atas dapat dipahami bahwa inti syukr adalah mengetahui dan menghayati
kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena itu manusia
wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah, karena orang yang mensyukuri
nikmat Allah, maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya,
sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya: Dan
ingatlah tatkala Tuhanmu memberitahukan: sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmatKu), maka sesungguhnya siksaKu sangat pedih.
Adapun untuk mensyukuri nikmat Allah
ada tiga cara :
a) Mengucapkan pujian kepada Allah
dengan ucapan al-hamdulillah.
b) Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah
kepada hambaNya harus dipergunakan untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
c) Menunaikan perintah-perintah syara’ minimal
ibadah wajib dan meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan bathin.
8) Al-Ikhlas
Al-Ikhlas menurut
K.H. Ahmad Rifa’i didefinisikan sebagai berikut: Ikhlas menurut bahasa adalah
bersih sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada
Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain Allah.”
Dari definisi di atas dapat dipahami
bahwa ikhlas menunjukan kesucian hati untuk menuju kepada Allah semata. Dalam
beribadah, hati tidak boleh menuju kepada selain Allah, karena Allah tidak akan
menerima ibadah seorang hamba kecuali dengan niat ikhlas karena Allah semata
dan perbuatan ibadah itu harus sah dan benar menurut syara’.
Ikhlas dalam
ibadah ada dua macam, apabila salah satunya atau kedua-duanya tidak dikerjakan,
maka amal ibadah tersebut tidak diterima oleh Allah. Rukun ikhlas dalam
beribadah ada dua macam. Pertama, perbuatan hati harus dipusatkan menuju kepada
Allah semata dengan penuh ketaatan. Kedua, perbuatan lahiriyah harus benar
sesuai dengan pedoman fiqh. Sebagaimana dalam surat al-Bayyinat ayat 5:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan ikhlas dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
Lebih lanjut K.H. Ahmad Rifa’i
menggolongkan sifat ikhlas menjadi tiga tingkatan:
a) Ikhlas ‘awwam, yakni seseorang yang melakukan
ibadah kepada Allah karena didorong oleh rasa takut menghadapi siksaanNya yang
amat pedih, dan didorong pula oleh adanya harapan untuk mendapatkan pahala
dariNya.
b) Ikhlas khawwash, yakni seseorang yang melakukan
ibadah kepada Allah karena didorong oleh adanya harapan ingin dekat dengan
Allah dan karena didorong oleh adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu dan kedekatannya
kepada Allah.
c) Ikhlas khawwash al-khauwash, yakni seseorang
yang melakukan ibadah kepada Allah yang semata-mata didorong oleh kesadaran
yang mendalam untuk mengEsakan Allah dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang
sebenarnya, serta bathin mengekalkan puji syukur kepada Allah.
Demikian pemaparan
tentang delapan sifat terpuji yang wajib diamalkan oleh setiap hamba yang ingin
mendekatkan diri kepada Allah, dan delapan sifat tercela yang wajib
ditinggalkannya, yang dalam istilah tashawwuf disebut dengan maqamat. Ajaran
tashawwuf yang hanya sampai batas pendidikan akhlaq untuk mencapai kesucian
hati ini disebut tashawwuf akhlaqi. Seorang hamba yang mencapai kesucsian hati
sesuci-sucinya akan memperoleh anugerah Allah baik berupa mahabbat, qurb, ma’rifat,
ataupun lainnya yang dalam istilah tashawwuf disebut ahwal.
c. Al-Mahabbat,
al-Qurb, dan al-Ma’rifat
Al-mahabbat, al-qurb, dan al-ma’rifat
terkadang dipandang sebagai maqamat dan terkadang dipandang sebagai ahwal.
Sebagai contoh misalnya, bagi al-Junaid, ma’rifat termasuk kategori ahwal,
sedangkan menurut al-Qusyairi, ma’rifat termasuk kategori maqamat. Bagi
al-Ghazali, ada perbedaan susunan antara ma’rifat dan mahabbat. Menurutnya,
mahabbat diperoleh sesudah ma’rifat sedangkan al-Kalabadzi menegaskan bahwa
mahabbat diperoleh sebelum ma’rifat.
1) Al-Mahabbat
Al-Mahabbat, Al-hubb atau al-mababbat
adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya atau apa yang diduganya
baik.
K.H. Ahmad Rifa’i mengatakan bahwa
cinta seorang hamba kepada Allah adalah berbakti kepada-Nya dengan jalan
mematuhi semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, jika melakukan
dosa harus segera bertaubat.
Adapun tanda-tanda orang yang cinta
kepada Allah, menurut K.H. Ahmad Rifa’i adalah sebagai berikut:
a) Ia senantiasa mengikuti ajaran-ajaran Nabi
Muhammad, karena dengan demikian berarti ia telah mencintai Allah. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 31, yang berbunyi:
“Katakanlah (hai Muhammad): jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka
ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”
b) Ia senantiasa ikhlash dalam mematuhi semua
perintah Allah dan meninggalkan semua larangan, karena ikhlash merupakan ruhnya
ibadah.
Cinta kepada Allah memerlukan
pengorbanan yang betul-betul ikhlash, yakni tidak merasa berat dalam
mengabdikan diri (beribadah) kepada-Nya. Cinta kepada Allah, bagi K.H. Ahmad
Rifa’i merupakan nyawanya iman dan merupakan syarat sahnya iman.
Inti paham mahabbat K.H. Ahmad Rifa’i
adalah mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya dengan
tulus ikhlash. Paham mahabbatnya hanya sebatas cinta antara seorang ‘abid (yang
menyembah) dan ma’bud (Yang Disembah). Masih ada jarak antara seorang hamba
dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih yang mempunyai persamaan derajad (munasabat).
Paham mahabbatnya masih sangat erat kaitannya dengan syari’at.
2) Al-Qurb
Adapun ajarannya tentang al-qurb
menurut K.H. ahmad Rifa’i ialah dekatnya hati seorang hamba dengan Allah,
sehingga ia mampu menyaksikan keagungan dan kemuliaan-Nya. Ketika ia melihat
segala sesuatu yang ada di alam ini, maka hatinya senantiasa merasakan bahwa
segala sesuatu itu adalah ciptaan Allah dan perbuatan-Nya.
Hamba yang telah mencapai derajad
kedekatan Allah, maka mata hatinya mampu memandang keagungan-Nya karena Allah
benar-benar dekat dengan dirinya. Di samping itu, mata hati mampu melihat Allah
semata yang memiliki perbuatan atas segala sesuatu. Adapun cara untuk berada
dekat dengan Allah, K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan sebagai berikut:
a) Seorang hamba yang ingin berada
dekat dengan Allah, hendaknya ia keluar dari dirinya.
b) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan
Allah, hendaknya senantiasa ingat kepada-Nya, karena kelalaian seorang hamba
kepada Allah menjadikan dirinya jauh dari Allah.
c) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan
Allah, hendaknya senantiasa menyandarkan diri pada anugerah dan rahmat Allah.
Jika seorang hamba
telah berada dekat dengan Allah, maka ia merasa yakin bahwa Allah itu
senantiasa hadir bersamanya di mana pun dan dalam kondisi apapun, serta ia
yakin bahwa Allah senantiasa memperhatikan segala sesuatu yang akan menimpa
dirinya karena ia melihat bahwa segala sesuatu itu baik berupa kenikmatan
maupun malapetaka merupakan perbuatan Allah. Oleh karena itu, ia senantiasa
menyandarkan diri kepada anugerah dan rahmat Allah.
Konsep qurb K.H.
Ahmad Rifa’i termasuk kategori ahwal, karena konsep qurbnya merupakan anugerah
Allah yang diperoleh tanpa wujud usaha, bukan diperoleh melalui proses
pembinaan akhlak (maqamat).
Menurutnya, bahwa
Allah itu memang sangat dekat dengan hambanya, bahkan Allah mengetahui apa saja
yang terdapat dalam lahiriah dan batiniah manusia, sedangkan manusia itu
sendiri tidak mengetahui apa yang terdapat dalam dirinya.
Sekalipun Allah sangat dekat dengan
makhluq-Nya, namun kedekatan-Nya tidak sama dengan kedekatan makhluq, karena
Dia adalah dzat yang wajib adanya dan Maha Sempurna serta bersifat qadim,
sedangkan makhluq adalah mungkin adanya dan tidak sempurna serta bersifat
hadits. Oleh sebab itu, mustahil Allah yang bersifat qadim menempati makhluqnya
yang bersifat hadits.
Ajaran tashawwuf
K.H. Ahmad Rifa’i tidak sampai kepada paham tentang kemanunggalan antara hamba
dan Allah, seperti paham al-ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami
(w. 874) dan paham al-Hulul yang diajarkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj
(w. 922 M), bahkan terlihat bahwa ajaran tashawwufnya menolak kedua paham
tersebut
3) Ma’rifat
Ma’rifat, bagi K.H. Ahmad Rifa’i,
merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah sedekat-dekatnya,
sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan keindahan-Nya, yang
disertai rasa takut dan cinta di dalam hati. Kemudian ia melihat segala sesuatu
yang terjadi di alam ini merupakan perbuatan-Nya. Seorang hamba yang telah
mencapai tingkat ma’rifat maka mata hatinya melihat semua perbuatan dan
kejadian di alam ini adalah baik, sekalipun secara lahiriah perbuatan itu
dianggap haram namun mata hatinya memandangnya baik, karena semua itu merupakan
perbuatan Allah.
Jalan menuju ma’rifat Allah ada lima
macam, yaitu merenung atau tafakkur tentang:
a) Tanda-tanda kekuasaan-Nya akan
mewujudkan tauhid dan iman kepada-Nya.
b) Nikmat-nikmat-Nya akan mewujudkan
rasa cinta kepada-Nya.
c) Janji-Nya akan mewujudkan ketaatan
kepada-Nya.
d) Kekurangtaatan dirinya kepada-Nya yang disertai
dengan merenungi berbagai kebaikan-Nya yang telah diberikan kepada dirinya akan
mewujudkan rasa malu untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
e) Ancaman-Nya akan mewujudkan rasa
takut terhadap siksaan-Nya.
Puncak ajaran tashawwuf K.H. Ahmad
Rifa’i adalah ma’rifat, yakni sebatas melihat atau mengetahui rahasia-rahasia
Allah seperti keindahan, keagungan, perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Penglihatan
itu diperoleh melalui cahaya-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-hamba
pilihan-Nya yang diletakkan di dalam lubuk hati yang paling dalam.
PERTEMUAN 9
HAKEKAT PEMBINAAN
AKHLAK TASAWUF
1. Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan akhlak bagi setiap muslim
merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus menerus tanpa henti baik
melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun
oleh orang lain. Pada hakekatnya pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan
pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan
jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol. Dalam dunia tasawuf istilah
pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah
al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
a. Tazkiyah Nafs
1) Hakekat Tazkiyah al-Nafs
Pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran
penyakit hati seperti sifat hasud, kibir, ujub, riya’, sum’ ah, thama, rakus,
serakah, bohong, tidak amanah, nifaq, syirik dan lain sebagainya merupakan
salah satu misi utama para Rasul Allah. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang
menunjukkan atas misi tersebut.
Perhatikan do’a Nabi Ibrahim AS untuk
anak cucunya, yang terdapat dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا
وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ
الحَكِيمُ
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Quran) dan
Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129)
Kemudian Allah menjawab do’a tersebut
dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana firman-Nya:
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا
لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan
nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
Ayat lain menguatkan seperti ucapan
nabi Musa kepada Fir’aun:
فَقُلْ
هَل لَّكَ إِلَى أَن تَزَكَّى
وَأَهْدِيَكَ
إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى
Artinya:
Adakah keinginan bagimu untuk
membersihkan diri. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut
kepadaNya. (An-Naazi’at:18-19)
Juga Allah berfirman:
الَّذِي
يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى
Artinya:
...yang menafkahkan hartanya (di jalan
Allah) untuk membersihkannya. (Al-Lail:18)
قَدْ
أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ
خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Asy-Syam: 9-10).
Jelas bahwa
tazkiyat al-nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang yang bertaqwa,
dan menentukan keselamatan atau kecelakaan disisi Allah. Tazkiyah secara
etimologis punya dua makna: penyucian dan pertumbuhan. Demikian pula maknanya
secara istilah. Zakatun nafsi artinya penyucian (tathabur) jiwa dari segala
penyakit dan cacat, merealisikan (tahaquq) berbagai maqam padanya, dan
menjadikan asma’ dan sifat Allah sebagai akhlaknya (takbaluq). Dengan demikian
tazkiyah adalah tathahur, tahaquq dan takhaluq. Kesemuanya ini memiliki
berbagai sarana yang sesuai dengan syari’at. Dampak dan pengaruhnya akan tampak
pada perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan Allah dan makhluk lainnya
sesuai dengan perintah Allah.
Tazkijah hati dan
jiwa hanya bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu,
apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai, seperti shalat, infaq, puasa,
haji, dzikir, fikir, tilawah al-Qur’an, renungan, muhasabah dan dzikrul-maut.
Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna dan dampak bagi seluruh
anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan Iainnya. Hasil yang paling nyata
ialah adab dan mu’amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada Allah
berupa pelaksanaan hak-haknya termasuk di dalamnya adalah jihad di jalan-Nya.
Sedangkan kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan taklif
Ilahi.
Dampak lain yang
dapat dirasakan adalah terealisirnya tauhid ikhlas, shabar, syukur, harap,
santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan
terhindarkannya dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut
seperti riya’, ‘ujub, ghurur marah karena nafsu atau karena syetan. Dengan demikian
jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalikannya
anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam berhubungan dengan keluarga,
tetangga, masyarakat dan manusia.
2) Sarana
Tazkiyyah
Yang dimaksud
dengan sarana tazkiyah ialah berbagai amal perbuatan yang mempengaruhi jiwa
secara langsung dengan menyembuhkannya dari penyakit, membebaskannya dari
“tawanan”, atau merealisasikan akhlak padanya. Semua hal ini bisa terhimpun
dalam suatu amal perbuatan.
Dalam sarana
tazkiyah, ada berbagai amal perbuatan yang memberikan dampak pada jiwa ini
sehingga dengan perbuatan tersebut jiwa terbebas dari penyakit atau mencapai
maqam keimanan atau akhlak Islami.
Ada beberapa sarana dalam tazkiyah
yaitu:
a) Shalat
Shalat adalah satu sarana tazkiyah dan
merupakan wujud tertinggi dari ‘ubudiyah dan rasa syukur. Dengan demikian, ia
adalah sarana itu sendiri. Jadi, ia adalah cara sekaligus sarana. Shalat yang
dilakukan secara sempurna merupakan manusia bahwa jiwa dan hati tersucikan.
Jadi, penuaiannya secara sempurna dan baik merupakan sarana, tujuan dan dampak.
Demikian pula masalah-masalah lainnya yang berkenaan dengan pembahasan ini.
Penuaian shalat, misalnya, dapat
membebaskan manusia dari sikap sombong kepada Allah Tuhan alam semesta, dan
pada saat yang sama bisa menerangi hati lalu memantul pada jiwa dengan
memberikan dorongan untuk meninggalkan pebuatan keji dan mungkar.
Sebelum kita memasuki bab ini perlu
kami berikan beberapa penjelasan berikut ini:
Fitrah manusia bisa terkontaminasi oleh
najis ma’nawi yaitu suatu kotoran yang diartikan dari hakekatnya seperti
kemusyrikan, seperti dalam al-Qur’an menyatakan “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”, terkontaminasi lumpur hawa
nafsu yang salah, seperti dalam al-Qur’an yang artinya: “Maka datanglah sesudah
mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan
hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”, atau terkontaminasi
oleh berbagai perangai binatang yang tidak cocok untuk manusia, “Mereka itu
tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu)”. Sebagaimana di dalam jiwa juga terdapat
kecenderungan untuk menentang rububiyah, seperti sikap sombong dan angkuh. Jiwa
juga bisa tertutup oleh berbagai kegelapan sehingga tidak bisa melihat berbagai
hakekat sebagaimana mestinya. Karena itu, jika dikatakan tazkiyat al-nafs maka
yang dimaksud adalah pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya,
berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangan yang nista,
penentangan terhadap rubbubiyah dan berbagai kegelapan. Para Rasul diutus tidak
lain adalah untuk melaksanakan misi seperti ini.
Antara manusia dan binatang ada
unsur-unsur kesamaan yang diperlukan kehidupan manusia, namun hal seperti ini
tidak menjadi pembahasan kami. Berbagai macam syahwat yang dibenarkan terkait
dengan berbagai kemaslahatan yang dibenarkan pula, hal ini juga tidak menjadi
pembahasan kajian kami. Allah telah menjadikan pada manusia kesiapan untuk
berakhlak dengan berbagai kesempurnaan, seperti santun dan kasih sayang, dan
menjadikan untuknya beberapa sifat seperti mendengar dan melihat. Berbagai
kesempurnaan yang bisa menjadi sifat manusia ini, yang merupakan bagian dari
sifat-sifat Allah, tidak termasuk didalamnya apa yang kami maksud.
Berbagai taklif Ilahi tercurahkan untuk
kemaslahatan individu dan masyarakat, sementara itu tidak ada kemaslahatan bagi
individu dan masyarakat kecuali dengan menyucikan jiwa individu. Oleh karena
itu diantara taklif Ilahi yang terpenting adalah apa yang bisa membersihkan
jiwa.
Titik awal dan akhir dalam taklif Ilahi
adalah tauhid yang membersihkan dari berbagai karat kemusyrikan dan berbagai
akibatnya seperti ‘ujub, ghurur, dengki dan lain sebagainya. Sesuai dengan
sejauh mana tauhid itu tertanam dalam jiwa sejauh itu pula jiwa akan tersucikan
dan memetik berbagai buah tauhid seperti sabar, syukur, ‘ubudiyah, tawakal,
ridha, takut, harap, ikhlas, jujur, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, kami menjadikan sarana
pertama dalan tazkiyah adalah shalat. Shalat berikut sujud, ruku’ dan dzikirnya
membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah dan mengingatkan jiwa agar
istiqamah diatas perintahNya:
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar”, Jadi shalat merupakan salah satu sarana tazkiyah.
b) Zakat dan Infaq
Zakat dan infaq bisa membersihkan jiwa
dari bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta yang
sebenarnya adalah Allah. Oleh sebab itu, kedua ibadah ini termasuk dalam bagian
dari tazkiyah, “Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya”.
c) Puasa
Puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk
mengendalikan syahwat dan kemaluan, sehingga dengan demikian ia termasuk sarana
tazkiyah, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tujuan dari puasa tidak hanya sekedar
menahan haus dan lapar dari mulai terbit fajar hingga matahari tenggelam, namun
lebih dari itu, yaitu melatih kesabaran dan mengekang hawa nafsu dari keinginan-keinginan
nafsu duniawi. Sehingga dengan bepuasa setiap hamba dapat mendekatkan diri pada
Allah SWT dengan khusyu’ tanpa terbebani keinginan-keinginan duniawi.
d) Dzikir dan
Pikir
Membaca Al-Qur’an dapat mengingatkan
jiwa kepada berbagai kesempurnaan, karenanya ia merupakan salah satu jenis
dzikir dan merupakan sarana tazkiyah, “Dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya).
Berbagai dzikir yang bisa memperdalam
iman dan tauhid di dalam hati, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tentram”. Dengan demikian jiwa bisa mencapai derajat tazkiyah yang
tertinggi, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya”.
Dzikir dan pikir adalah dua sejoli yang
dapat membukakan hati manusia untuk menerima ayat-ayat Allah, oleh karena itu
tafakkur termasuk sarana tazkiyah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat manusia-manusia bagi
orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke
dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim seorang penolong pun, Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”,
maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta
orang-orang yang banyak berbakti. Munculnya nilai-nilai dalam hati tidak lain
adalah melalui perpaduan antara dzikir dan pikir.
e) Mengingat
Kematian
Kadang jiwa manusia ingin menjauh dari
pintu Allah, bersikap sombong, sewenang-wenang atau lalai, maka mengingat
kematian akan dapat mengendalikannya lagi kepada ‘ubudiyah-Nya dan
menyadarkannya bahwa ia tidak memiliki daya sama sekali, “Dan Dialah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu
malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan
malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”. Oleh karena itu,
mengingat kematian merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Dan apakah mereka tidak
memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”
Muhasabah harian terhadap jiwa dan
muraqabullah juga dapat mempercepat taubat dan memperkuat laju peningkatan
(taraqqi), karenanya muhasabah merupakan salah satu sarana tazkiyah, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”.
Jiwa terkadang tidak terkendalikan lalu
terjerumus ke dalam kelalaian, maksiat atau syahwat sehingga harus dilakukan
mujahaddah (kerja keras) agar bisa kembali, Allah berfirman, “Dan orang-orang
yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami”.
f) Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
Tidak ada hal yang sedemikian efektif
untuk menanamkan kebaikan ke dalam jiwa sebagaimana perintah untuk melakukan
kebaikan, dan tidak ada hal yang sedemikian efektif untuk menjauhkan jiwa dari
keburukan sebagaimana larangan darinya. Oleh karena itu, amar ma’ruf dan nahi
munkar merupakan salah satu sarana tazkiyah, bahkan orang-orang yang tidak
memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran berhak mendapat laknat
Kotoran jiwa apakah yang lebih besar dari laknat? “Telah dila’nati orang-orang
kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan yang mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah
apa yang mereka selalu perbuat itu”.
Kaitkanlah antara firmanNya,
“Sesungguhnya telah berbahagia orang yang mensucikannya”, dan firmanNya, “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung”. Perhatikanlah kalimat “orang-orang yang beruntung”
niscaya manusia mengetahui bahwa amar ma’ruf, nahi munkar dan ajakan kepada
kebaikan merupakan salah satu sarana tazkiyah.
Jika amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan salah satu sarana tazkiyah, maka demikian pula jihad karena ia
merupakan bentuk pengukuhan kebaikan dan pengikisan kemungkaran. Oleh karena
itu, mati syahid di jalan Allah adalah penghapus dosa. Orang yang berjihad di
jalan Allah terbebas secara langsung dari rasa takut dan kikir karena ia
menerjang kematian dengan niat menjual dirinya kepada Allah, “Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh”. Tidak dapat melakukan hal tersebut secara sempurna dan
baik kecuali orang-orang yang yang disebutkan sifatnya oleh Allah dengan
firmanNya, "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat,
yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. Jadi jihad adalah salah satu sarana
tazkiyah, bahkan merupakan sarana paling tinggi dan tidak dapat melakukannya
pada ghalibnya kecuali orang yang tersucikan jiwanya.
Itulah berbagai induk sarana tazkiyah
secara umum, disamping ada beberapa macam tazkiyah khusus bagi beberapa
penyakit khusus. Semakin sempurna sarana ini direalisasikan semakin sempurna
pula hasil-hasilnya, dan sebaliknya.
Nilai-nilai bathiniyah dalam hal
shalat, zakat, puasa dan tilawah Al-Qur’an telah dilupakan oleh banyak orang,
padahal berbagai ibadah utama dalam islam akan dapat menerangi dan mensucikan
jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai bathiniahnya tersebut
diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang sempurna apabila
ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai dengan amal-amal
bathiniah, seperti shalat disertai khusu’, zakat disertai dengan niat yang
baik, tilawah Al-Qur’an disertai dengan tadabur yang baik dan dzikir yang
menghadirkan hati (hudhur). Bentuk penunaian ini merupakan penerang dan pensuci
bagi kesempurnaan. Karena aspek spiritual dari hal-hal ini telah terjangkiti
oleh penyakit wahan dan kekurangan di kalangan para penempuh jalan menuju
Allah, maka hal tersebut menjadi fokus pilihan kami karena hal-hal yang
bersifat lahiriyah biasanya tidak terlupakan di kalangan orang-orang yang hidup
di lingkungan islam.
3) Tujuan Tazkiyat
Al-Nafs
Ada perselisihan filosofis seputar:
apakah tidak ada kaitan antara sarana, tujuan dan dampak, ataukah ada mata
rantai saja? Masalahnya relatif. Setiap sarana adalah tujuan bagi yang lainnya,
dan setiap tujuan merupakan sarana bagi yang lainnya. Jadi hasil-hasil itu
sendiri tidak keluar dari keberadaannya sebagai tujuan dan sarana bagi sesuatu
yang lain. Apapun kesimpulan perdebatan ini, proses pengajaran, penyederhanaan
dan pemaparan ini menuntut penjelasan rinci yang membahas masalah sarana,
tujuan dan hasil atau dampak tersebut masing-masing secara terpisah. Memang
pada akhirnya ada saling keterkaitan, tetapi saling keterkaitan ini tidak
muncul sebagaimana munculnya pada pembicaran tentang tazkiyah yang tengah
dibahas ini.
Tujuan dari upaya pembersihan diri ini
akan terlaksana apabila telah melampai beberapa tahap. Tahapan ini merupakan
sarana yang tepat sebagai upaya pelaksanaan tazkiyah al-nafs. Tahapan-tahapan
tersebut adalah:
a) Tathahhur
(Upaya mensucikan diri)
Usaha seseorang untuk dapat memulai
tazkiyat al-nafs adalah melalui tathahur. Upaya ini diawali dengan taubat dan
berjanji tidak akan mengulangi lagi segala perbuatan yang bisa mengotori jiwa
atau hati, seperti nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji, hasud, riya’,
kibir, sum’ah, ujub, su’udhan dan lain-lain. Ia harus mengikis habis segala
yang bisa menggoda hatinya untuk kembali melakukan perbuatan-perbuatan kotor.
Dengan cara ini, jiwanya akan terasa kosong dari penyakit-penyakit tadi,
sehingga dapat dikatakan jiwanya bersih.
b) Takhallaq
(upaya menghiasi diri dengan akhlak al-karimah)
Setelah seseorang berusaha mensucikan
diri dari perbuatan-perbuatan kotor pada jiwanya, maka ia harus berupaya
mengisinya dengan perbuatan-perbuatan mulia (akhlak mulia). Sifat-sifat seperti
nifaq, berdusta, khianat, mengingkari janji, iri dengki, riya’, kibir, sum’ah,
ujub, su’udhan dan lain-lain haruslah diganti dengan sifat-sifat akhlak mulia
seperti jujur, amanah, tawakkal, sabar, tawadhu’, tadharru’, qana’ah, iffah,
dan lain-lain. Dengan cara ini jiwa atau seseorang akan terhiasi
perilaku-perilaku baik yang pada akhirnya perlu perwujudan dalam perilaku.
c) Tahaqquq (Upaya
merealisasikan kedudukan-kedudukan mulia atau biasa disebut Maqamatul Qulub)
Upaya ini merupakan puncak dari proses
tazkiyatal-nafs, karena takhalluq merupakan cara dan jalan bagaimana seorang
muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt sehingga ia akan
memperoleh kedudukan yang mulia disisi-Nya. Untuk dapat berada dekat dengan
Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang
dalam istilah Arab dikenal dengan maqamat, sebagai bentuk jamak dari kata
maqam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-Shaffat ayat 164
yang berbunyi:
وَمَا
مِنَّا إِلَّا لَهُ مَقَامٌ مَّعْلُومٌ
Artinya:
Tiada seorangpun diantara kami
(malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.
Kedudukan tersebut merupakan tempat
yang mulia di sisi Allah Swt Sebagaimana yang dijanjikan Allah Swt dalam surat
Ibrahim ayat 14:
وَلَنُسْكِنَنَّـكُمُ
الأَرْضَ مِن بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
Artinya:
Dan kami pasti akan menempatkan kamu di
negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang
yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.
4) Buah
Tazkiyyatun Nafs
Aktifitas-Aktifitas tazkiyah yang dapat
mencontoh Rasulullah saw ini dapat menghasilkan buah-buah ‘amaliyah, buah-buah
ini disebut Tsamaratut-Tazkiyyah, yaitu:
a. Dhabtul-Lisan
(Lisan yang terkontrol)
Rasulullah menjadikan lurusnya lisan
sebagai syarat bagi lurusnya hati, dan menjadikan lurusnya hati sebagai syarat
lurusnya iman. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya:
Keimanan seorang hamba tidak akan lurus
sebelum lurus hatinya, dan harinya tidak akan lurus sebelum lurus lisannya.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin
Umar r.a. secara marfu’, berkata:
Artinya:
Janganlah kalian berbanyak kata selain
dzikrullah, sesungguhnya hal itu akan menjadikan kerasnya hari. Dan manusia
yang paling jauh dari Allah adalah pemilik hati yang keras.
Selanjutnya Rasulullah bersabda:
Artinya:
Barang siapa beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.
Hadits ini memuat perintah Rasulullah
untuk berbicara yang baik-baik atau diam jika pembicaraan itu tidak baik (tidak
bermanfaat). Apabila perintah Rasulullah ini dikksanakan maka akan dapat
memetik buah dari tazkiyah, yaitu seorang muslim dapat mengontrol lisannya
sehingga ia akan senantiasa terjaga lisannya dari perkatan yang tidak baik.
b. Iltizam Bi
Adabil ‘Ilaqat (Komitmen dengan adab-adab pergaulan)
Hasil lain dari tazkiyah yang dapat
dipetik adalah berkomitmen dengan adab-adab pergaulan. Ada 4 (empat) macam
klasifikasi manusia dalam pergaulan, yaitu:
1) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka
ibarat mengkonsumsi makanan yang bergizi. Ia dibutuhkan siang dan malam. Jika
seseorang telah menyelesaikan keperluannya ia ditinggal, dan jika diperlukan
lagi ia didatangi, demikian seterusnya. Mereka adalah para ularna, ahli
ma’rifatullah, memahami perintah-perintahNya, mengerti tipu daya
musuh-musuhNya, dan memiliki ilmu tentang penyakit-penyakit hati serta obatnya.
Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Allah, KitabNya, rasulNya, dan
seluruh makhluk. Bergaul dengan mereka adalah keberuntungan yang nyata.
2) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka
ibarat mengkonsumsi obat. Ia dibutuhkan dikala sakit, selama sehat tidak diperlukan
pergaulan dengan mereka. Mereka adalah para profesional dalam urusan muamalat,
bisnis dan yang semisalnya. Bergaul dengan orang-orang seperti ini dapat
membawa urusan ma’siyah menjadi lancar.
3) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka
ibarat mengkonsumsi penyakit. Ada penyakit ganas yang memakan waktu lama untuk
disembuhkan. Orang yang semacam ini tidak membawa keuntungan dunia ataupun
akhirat.
4) Segolongan orang yang bergaul dengan mereka
adalah kebinasaan total. Mereka ibarat racun. Jika seseorang tidak sengaja
memakannya itupun sudah suatu kerugian. Golongan ini banyak sekali, mereka
adalah ahli bid’ah dan kesesatan, penghalang sunnah Rasulullah penyeru kepada
perselisihan. Bergaul dengan mereka juga membawa kerugian dunia dan akhirat.
Dengan tazkiyah ini seorang muslim
dapat menentukan batasan-batasan dalam pergaulan, dimana ia bisa menempatkan
diri dalam golongan pergaulan yang membawa keselamatan dunia dan akhirat.
PERTEMUAN 10
b. Tarbiyah
Dzatiyah
1) Hakekat
Tarbiyah Dzatiyah
Istilah tarbiyah dzatiyah merupakan
sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan orang Muslim, atau Muslimah, kepada
dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami yang sempurna diseluruh sisinya;
ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan
kesempurnaan manusia. Tarbiyah dzatiyah ini juga bisa dikatakan pembinaan
(tarbiyah) seseorang terhadap dirinya sendiri. Tarbiyah dzatiyah sudah pernah
dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah. Bisa dilihat dari sejarah
keberhasilan sahabat-sahabat Rasulullah, dimana mereka mampu tampil menjadi
figur-figur hebat, dengan ciri khas dan kelebihannya masing-masing. Salah satu
kuncinya adalah masing-masing dari mereka mampu mentarbiyah (membina) diri
sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri menuju tingkatan seideal
mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten dan kontinyu, serta
meningkatkan semua potensi diri mereka sehingga tidak ada satu pun potensi
mereka yang terabaikan.
2) Sarana-sarana
Tarbiyah Dzatiyah
Banyak sekali sarana-sarana dalam
tzabiyah seorang muslim terhadap dirinya sendiri. Sarana-sarana tersebut adalah
:
a) Muhasabah
Muhasabah merupakan penyucian atau
pembersihan diri sebagai alat untuk mengintrospeksi dirinya sendiri. Seorang
muslim mulai mentarbiyah dirinya sendiri dengan cara pertama-tama melakukan
muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya sendiri atas kebaikan dan keburukan yang
telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia
dapat segera menyadari dan melakukan perbaikan terhadap dirinya sendiri.
Hal yang pertama kali perlu di
muhasabahi seseorang pada dirinya ialah kesehatan akidahnya, kebersihan
tauhidnya dan kebersihannya dari syirik kecil dan tersembunyi, yang keduanya
sering kali disepelekan serta keyakinan-keyakinan dan perbuatan-perbuatan lain
yang bertentangan atau melemahkan tauhid. Lalu ia memuhasabahi dirinya atas
pelaksanaan kewajiban-kewajiban, shalat lima waktu berjamaah, bakti kepada
kedua orang tua (birrul walidain), menyambung hubungan kekerabatan, amar ma’ruf
nahi munkar dan juga memuhasabahi dirinya tentang sejauh mana pelaksanaan
ibadah-ibadah sunnah dan ketentuan-ketentuan lainnya oleh dirinya.
b) Taubat dari
Segala Dosa
Diantara sarana tazkiyah adalah taubat
karena ia dapat meluruskan perjalanan jiwa setiap kali melakukan penyimpangan,
dan mengembalikannya kepada titik tolak yang benar. Taubat juga bisa
menghentikan laju kesalahan jiwa, sehingga Allah melimpahkan karuniaNya kepada
orang-orang yang bertaubat dengan mengubah kesalahan-kesalahan mereka menjadi
kebaikan, “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan”.
Hal yang terpenting yang harus
dilakukan ketika sesorang muslim beribadah kepada Allah Swt adalah bertaubat
dari segala dosa. Caranya dengan bertaubat dari segala maksiat, aib, dan
ketidaksempurnaan di aspek pemikiran, amal, akhlak, dan lain sebagainya. Juga
dengan cara merasa butuh kepada Allah Swt, dekat kepada-Nya, dan keridhaan-Nya.
Ini semua bisa diwujudkan dengan cara membersihkan diri dari semua dosa dan
kekurangan pada dirinya. Mengenai anjuran bertaubat Allah Swt berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa
Allah menganjurkan setiap orang mukmin untuk bertaubat nashuhah (hakiki).
Taubat nashuhah adalah taubat yang jujur dan serius, yang menghapus
kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya dari dosa-dosa yang
dilakukan sebelumnya. Dilakukan dengan cara berhenti dari dosa pada masa
mendatang, menyesali dosa-dosa silamnya, dan bertekad tidak akan mengerjakannya
lagi pada masa mendatang. Dengan taubat kepada Allah Swt maka seorang muslim
telah memulai pelaksanaan tarbiyah terhadap dirinya sendiri.
c) Mencari Ilmu
dan Memperluas Wawasan
Sarana selanjutnya dalam tarbiyah
dzatiyah adalah mencari ilmu dan memperluas cakrawala pengetahuan, dimana ini
merupakan aspek dan sarana penting dalam tarbiyah dzatiyah yang ideal dan
mengarahkannya dengan pengarahan yang benar. Sebab bagaimana mungkin seseorang
dapat mentarbiyah dirinya dengan tarbiyah yang benar, jika tidak tahu hal
halal, haram, kebenaran, kebathilan, manhaj, dan sarana yang benar atau salah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, Ketahuilah, mencari ilmu itu wajib dan
menyembuhkan hati yang sakit. Yang paling penting bagi seorang hamba ialah ia
tahu agamanya, dimana mengetahui dan mengamalkannya adalah jalan masuk ke
sorga.
d) Mengerjakan
Amalan-amalan Iman
Mengerjakan amalan-amalan iman termasuk
sarana yang bervariatif, sangat besar pengaruhnya pada jiwa, karena cara ini
merupakan realisasi dari perintah-perintah Allah dan rasul-Nya. Cara ini
merupakan ujian untuk mengetahui sejauh mana kejujuran orang-orang yang
mengerjakannya dalam mencari petunjuk serta beristiqamah, dan dengan
mengerjakan amalan-amalan iman ini merupakan bukti kuat keinginan ikhlas orang
yang bersangkutan dalam mentarbiyah dirinya dan memperbaikinya.
Amalan-amalan iman ini sangat
bervariatif diantaranya, mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin
seperti mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa dan mengeluarkan zakat,
meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah, peduli dengan ibadah dzikir termasuk
membaca al-Qur’an.
e) Memperhatikan
Aspek Akhlak (Moral)
Pembinaan akhlak merupakan aspek
penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat peduli dengan aspek akhlak
(moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan, ibadah dan ketaatan Islam
membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan manusia. Diantara hasil
terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah takut kepada-Nya. Hasil
positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak baik ketika bergaul
dengan mereka dan berbuat baik kepada mereka, karena agama adalah muamalah
Allah Swt berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.
Selanjutnya Allah juga berfirman:
وَاللّهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan.
Dalam hadits Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya orang mukmin pasti
mendapatkan derajat orang yang puasa dan qiyamul tail dengan akhlaknya yang
baik. (Diriwayatkan Abu Dawud)
Akhlak menjadi salah satu sarana
tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada saat yang sama. Oleh karena itu,
setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya dengan akhlak yang dianjurkan
agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan jujur dan masih banyak alagi
akhlak-akhlak mulia yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Buah Tarbiyah
Dzatiyah
Jika seorang muslim benar-benar
melaksanakan pembinaan akhlak terhadap dirinya sendiri maka ia akan memperoleh
hasil atau buah dari Tarbiyah Dzatiyah. Buah dari tarbiyah dzatiyah
diantaranya:
a) Keridhaan Allah Swt dan Surga-Nya
Jika seorang muslim melakukan tarbiyab
dzatiyah secara sempurna, dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban dan
menjauhkan diri dari segala maksiat, maka ia akan mendapat keridhaan Allah SWT,
lalu memperoleh surga-Nya yang merupakan dambaan seluruh orang Muslim di
akhirat kelak.
Allah berfirman:
مَنْ
عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَمَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن
ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ
يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya:
Barang siapa mengerjakan perbuatan
jahat, dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu dan
barang siapa mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan
sedang ia dalam keadaan beriman maka mereka akan masuk surga, mereka diberi
rizki didalamnya tanpa hisab.
Allah berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ
الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal.
Tingkatan orang di surga sangat
ditentukan oleh sejauh mana tarbiyah dan tazkiyah (penyucian dirinya).
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَمَنْ
يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى
Artinya:
Dan barang siapa datang kepada Tuhannya
dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka
itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia).
b) Kebahagiaan dan
Ketentraman
Semua orang mencari kebahagiaan bathin
dan ketentraman jiwa. Namun, banyak dari mereka salah jalan dalam upaya
mendapatkannya dan tidak tahu jalan-jalannya. Sebab mereka mencari kebahagiaan
dan ketentraman di makanan, minuman, syahwat, maksiat dan sebagainya. Mereka
hanya mendapatkan kebahagiaan sesaat dan semu. Allah Swt membimbing manusia
untuk selalu mentarbiyah diri manusia sendiri, sehingga buah tarbiyah yang
diperoleh adalah kebahagiaan dan ketentraman batinnya. Sebagaimana firman Allah
Swt:
Artinya:
Barang siapa yang mengerjakan amal
shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.
c) Dicintai dan
Diterima Allah
Allah Swt menjanjikan barangsiapa
memperbaiki dan mentarbiyah dirinya untuk beriman, bertakwa dan beramal shalih,
ia mendapatkan cinta Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi:
Artinya :
Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku
dengan (melakukan) ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintainya.
Lalu, tanpa keinginan dan pilihan orang
itu mendapatkan cinta manusia, penghormatan mereka dan Allah Swt membuat mereka
menerima dirinya.
Allah berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan beramal shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati)
mereka kasih sayang.
d) Terjaga dari
Keburukan
Allah Swt menjaga orang Muslim dari
keseluruhan musibah dunia, hal-hal yang tidak mengenakan di kehidupan, pihak-pihak
yang menginginkan keburukan baginya, yaitu setan-setan dari kalangan manusia
dan jin, bahkan menjaga dari hewan-hewan buas, singa dan lain sebagainya.
Allah Swt berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
Artinya:
Sesungguhnya Allah membela orang-orang
yang telah beriman.
Allah Swt juga menjaga telinga, mata,
potensi akal, dan potensi fisik orang yang bertakwa dan senantiasa melakukan
tarbiyah terhadap dirinya. Ibnu Rajab barkata: “Barang siapa menjaga Allah pada
masa muda dan masa kuatnya, maka Allah menjaganya pada masa tuanya dan ketika
kekuatannya melemah, serta memberinya kenikmatan pada telinga, mata, kekuatan,
dan akalnya. Sebagai contoh dalam hal ini ialah salah seorang ulama telah
berusia lebih dari seratus tahun, tetapi ia tetap hidup dengan kekuatan dan
akal yang utuh seperti semula. Pada suatu hari, ia melakukan loncatan keras dan
ia pun dikecam karenanya. Ia berkata, “Aku menjaga organ tubuh ini dari maksiat
ketika aku masih kecil, lalu Allah menjaganya ketika aku telah tua.” Hal ini
sebagai penegasan sebagaimana yang disebut di dalam hadits Rasulullah.
Artinya:
Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu.
Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatkan-Nya di depanmu (Diriwayatkan
At-Tirmidzi).
e) Jiwa Merasa
Aman
Ketentraman adalah kehidupan bagi hati,
cahaya di mana ia bersinar dengannya, kebangkitan baginya, dan kekuatan yang
menguatkan tekadnya, membuatnya tegar terhadap seluruh penderitaannya, dan
mengontrol jiwa ketika tidak bersabar. Karena itu orang mukmin semakin kuat
imannya dengan ketentraman yang ada padanya.
Semua orang di kehidupan ini pasti
diliputi ketakutan-ketakutan dan duka dari semua arah. Karena mereka tidak tahu
apa yang akan diputuskan Allah Swt terhadap dirinya dan juga tidak tahu masa
depan apa yang akan ditetapkan Allah Swt. Seorang Muslim yang telah mentarbiyah
dirinya tidak akan merasa takut dan sedih terhadap apa yang terjadi pada masa
silamnya, masa kininya, dan masa depannya. Mereka yakin bahwa Allah Swt akan
memberikan rahmat pada umat-Nya dan mengampuni dosa-dosanya. Mereka merasa aman
atas rizki dan mata pencahariannya, serta merasa aman dan ridha dengan takdir
Allah karena di dalamnya terdapat kebaikan.
Firman Allah Swt:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita.
Selanjutnya firman Allah yang lain:
هُوَ
الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَاناً
مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Artinya:
Dia yang telah menurunkan ketenangan ke
dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping
keimanan mereka (yang telah ada).
PERTEMUAN 11
c. Halaqah
Tarbawiyah
Betapapun tarbiyah dzatiyah merupakan
faktor terpenting dalam pembinaan akhlak, akan tetapi dalam realitas kehidupan
seseorang akan menghadapi kendala yang sangat besar untuk bisa merealisasikan
tarbiyah dzatiyah.
Uniknya hambatan yang paling besar
muncul dalam diri seseorang, seperti kurangnya disiplin, tidak konsisten, tidak
jujur pada diri sendiri, lemah semangat dan lain-lain. Maka dalam rangka
merealisasikan tarbiyah dzatiyah perlu ditopang dengan perilaku lain baik
langsung maupun tidak langsung. Rasulullah Saw memberikan isyarat tentang hal
tersebut dengan sabdanya:
Artinya:
Orang mukmin merupakan cerminan
saudaranya
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
Bahkan para sahabat sebagai generasi
terbaik setelah Rasulullah Saw mentradisikan pembinaan diri mereka sendiri ke
arah yang lebih baik dengan melibatkan sahabat yang lain.
Hudzaifah Ibn Yaman pernah berkata:
Mari kita duduk bersama untuk
merenungkan iman kita sesaat.
Pada umumnya setiap orang mempunyai
forum dengan orang lain baik yang berkaitan dengan bidang profesi pedagang,
petani, pegawai dan lain-lain. Berbeda jika forum yang terkait dengan kegiatan
sosial, politik, keluarga dan lain-lain. Akan tetapi sangatlah sedikit orang
yang mempunyai forum internalisasi keimanan.
Di kalangan pengamal thariqah yang
merupakan bagian dari kegiatan sebagian kalangan tasawuf dikenal dengan adanya
seorang mursyid. Seorang mursyid biasanya menjadi rujukan para pengamal
thariqah khususnya di dalam menjalankan wirid-wirid. Bahkan idealnya seorang
mursyid juga menjadi pembimbing dalam berprilaku agar sesuai dengan akhlak
al-karimah yang sering disebut dengan suluk.
Apa yang dilakukan para pengamal
thariqah dalam menghimpun diri pada sebuah kelompok thariqah dengan bimbingan
seorang mursyid jika dikaitkan dengan beberapa hadits Nabi Saw dan tradisi yang
dilakukan para sahabat dalam membina keimanan secara jama’i (kolektif) dapat
diadopsi secara massal sebagai konsep pembinaan akhlak tasawuf dalam bentuk
halaqah. Halaqah sesuai dengan arti lughawi adalah lingkaran dimana orang
menghimpun diri di dalamnya dengan dipandu oleh seorang murabbi (pembimbing)
untuk bersama-sama membina diri mereka baik dari segi penambahan ilmu maupun
pengamalan. Inilah yang kemudian dinamakan halaqah tarbawiyah.
Kegiatan halaqah ini berbentuk
pertemuan rutin minimal sekali dalam seminggu dengan agenda kegiatan, antara
lain :
1) Tadarus al-Qur’an
2) Pemberian materi
3) Internalisasi materi dalam
pengamalan
4) Dialog permasalahan umat
5) Evaluasi diri atau muhasabah
6) Penutup
Disamping kegiatan rutin mingguan,
halaqah juga bisa mengadakan acara-acara khusus untuk menguatkan spiritual
seperti qiyamul lail bersama, buka puasa sunnah, rihlah untuk memperkuat
ukhuwah, tadabbur dan lain-lain. Intinya forum ini tidak hanya mengkaji Islam
dalam dataran wacana, akan tetapi dilanjutkan ke arah internalisasi atau
pengamalan bahkan hingga pada tataran bagaimana dakwah pada kaumnya.
Dalam bentuk pembinaan akhlak tasawuf,
melalui halaqah akan dihasilkan manfaat:
1) Tertanamnya keyakinan keimanan kuat
kepada aqidah dan kebenaran Islam.
2) Terbentuknya akhlak al-karimah secara nyata
dalam wujud perbuatan baik dalam ruang lingkup individu, keluarga dan
masyarakat termasuk di dalamnya di lingkungan kampus.
3) Terciptanya ruh ukhuwah Islamiyah di
dalam kehidupan sosial.
4) Optimalisasi amal untuk mendakwah
keislaman khususnya melalui Qadwah atau tasawuf.
5) Terpeliharanya kepribadian dan amal dari
pelbagai pengaruh yang bisa merusak dan melemahkannya.
6) Mengkoreksi dan memperbaiki berbagai bentuk
kesalahan dan penyimpangan melalui tausiyah dan mau’idzah khasanah.
2. Langkah-Langkah
Pembinaan Akhlak
Beribadah merupakan pengabdian seorang
hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha
untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri
manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang ingin
dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang dalam
pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah
Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah. Disinilah para ahli
perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan
cara muraqabah, muhasabah, musyarathah, mujahadah dan mu’tabah, dimana cara
seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs.
Manusia yang senantiasa metazkiyah
dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi mereka, menanyai mereka
dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai tuntutan yang sedetail-detailnya.
Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali
lazumul muhasabah (muhasabah secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah
secara benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan
muhasabah terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab
dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa
menjawab pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik.
Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya,
akan lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan
menyeretnya kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia
akan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali
ketaatan kepada Allah.
Dalam pada itu Allah telah
memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiapsiagakan diri mereka terlebih
dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan
muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian
sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau
mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri
(murabathah) dalam bertazkiyah yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain
dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan
tersebut penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring
pengaman) yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di
dunia serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam
maqam (tingkatan), yaitu:
a. Musyarathah
(Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan
seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang
terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah
selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu
dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian
memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat.
Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun nafs
karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih.
Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh
jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya,
sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan
hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi
keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian
diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau
dicela (mu’atabab). Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat
kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat,
mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan
tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia
mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal.
Kemudian setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang
ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga
firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul munthaha bersama para nabi dan syuhada’.
Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh
lebih penting ketimbang memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena
keuntungan dunia sangat hina bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga,
disamping kenikmatan dunia pasti lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang
tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap
orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk
melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam berbagai gerak, diam,
lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah
usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk
menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan
untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya ketika ia menyerahkan barang
dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa; “Aku tidak mempunyai barang
dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada
harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru
ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan
melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu. Seandainya Allah mematikan aku
niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia
sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya jiwa manusia telah meninggal
kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah menyia-nyiakan hari ini,
karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Perlu diketahui
bahwa sehari semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah
hari ini untuk mengumpulkan bekal dan hindari kecenderungan pada kemalasan,
kelesuan dan santai yang menyebabkan tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin
sebagaimana orang yang telah mendapatkannya.
b. Muraqabah
(Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah
upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah
ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran dan
imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya
sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah adalah upaya diri untuk
senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk
menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan mewaspadai dan
mengawasi diri sendiri.
Bila hal tersebut tertanam secara baik
dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat' (pengawasan
melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam
dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena
ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti yang dinyatakan
dalam al-Qur’an dan Hadits yang artinya berikut ini:
1) “...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4),
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf
ayat 16),
2) “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang
ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat 59).
3) (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika
ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit
atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya)
sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4) Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda,
“Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan
jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah
mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang
adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti
nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40) bahwa
“Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan
bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi
Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun
mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik
dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata,
“Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku
jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung
tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni ketika beliau
diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti
beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat karena Allah telah
memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya
dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka
langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal
perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti
akan melampaui batas dan rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan
muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi
salam pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau
beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim).
Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu”
(diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian
ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka
apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama
dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq
ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’
ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat
32-33).
Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian
dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya
yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab
dirinya dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan
apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu,
istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai
kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian
dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu
dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya,
tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam
semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia
adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka
seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik-
baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika
ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua
adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang
hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga
keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah.
Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab
dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya
ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam
hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian
menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya.
Dalam semua keadaan, seorang hamba
tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan
nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam
keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus
dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang
dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu
dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan
jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing-
masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan
senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka
sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq
ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam
ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu
melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama
untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu
untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan
diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang
hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas
ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal
perbuatan ini.
c. Muhasabah
(Intropeksi)
1) Hakekat
Muhasabah
Muhasabah adalah menganalisa terus
menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga
berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa
banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati
yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri
sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi muhasabah adalah sebuah upaya
untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya
tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha
aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha
ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah
bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut
mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan
menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal
hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai
amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
2) Keutamaan
Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan muhasabah.
Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah
isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh
karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan
timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya.
dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”
(QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya
setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya
aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam
sehari.”
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari
syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”
(QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan
cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang
telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang
hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih
keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang
mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan
menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan
akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini
tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah
ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong
seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan, sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik.
Inilah keutamaan muhasabah.
d. Mu’aqabah
(Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan )
Selain sadar akan pengawasan
(muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat
dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri
mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum
kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni
“Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah
terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk
mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun
melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat
menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal
serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa
jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera
menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab
dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan
kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya,
jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan,
jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal
ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia
memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan
rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata
dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya dihukum
dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah,
ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu
ia menshadaqahkan kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar
memukul kedua kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah
kamu perbuat hari ini?
Demikian pula sanksi orang-orang yang
bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia
menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan
dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka
niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian
manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia
menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia
menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di
dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. Tetapi nafsu itulah
yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia sehingga dia lebih pantas
mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang lainnya.
e. Mujahadah
(Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya keras untuk
bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang
dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian
sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat
perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan
kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan
kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat
mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum
akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan
mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki
beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah
diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang. Beliau
menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa
bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari
sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di
belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati
lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata:
“Demi Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak
melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan
pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah,
mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka,
apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin,
mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang
sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf
yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan
muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan
sungguh-sungguh.
f. Mu’atabah
(Mencela Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah ini
adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol
dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan
seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah adalah
mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah
nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka
memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan.
Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai
paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya
dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti
merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu.
Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan
menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh
Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah
(yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah
yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat
untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain
jika ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan yang harus manusia tempuh adalah
berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya,
janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”. Firman Allah yang
berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka,
sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang
kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka,
melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi) hati mereka
dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
Demikian cara orang-orang ahli ibadah
dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu Allah SWT. Tujuan munajat
mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan
dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap diri)
dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan
ridha Allah.
PERTEMUAN 12
HUBUNGAN SYARI’AH
& TASAWUF
1. Aspek Tasawuf
a. Maqamat
Tasawuf dari satu segi merupakan suatu
ilmu. Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang
Muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya. Untuk dapat
mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang muslim harus menempuh
perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan
maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama
tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling
melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan seseorang hamba di hadapan
Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat),
kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian
(al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk
berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Ibrahim ayat 14 dan surat al-Shaffat ayat 164.
b. Ahwal
Di dalam beberapa literatur tasawuf,
konsep maqamat sering dibandingkan penggunaannya dengan konsep ahwal (bentuk
jamak dari hal). At-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti
kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam
mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat,
al-mujahadat, dan al-riyadhat seperti dalam maqamat. Adapun suasana hati yang
termasuk dalam kategori ahwal ini misalnya: merasa senantiasa diawasi Allah
(al-muraqabat), rasa dekat dengan Allah (al-qurb), rasa cinta dengan Allah
(mahabbat), rasa harap-harap cemas (al-khaufwa af-raja’), rasa rindu
(al-syauq), rasa berteman (al-uns), rasa tentram (al-thuma’ninat), rasa
menyaksikan Allah dengan mata hati (al-musyahadat), dan rasa yakin (al-yaqin).
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi
mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang
dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis
tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan
anugerah Allah, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan
yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba
melalui kerja keras.
Dengan demikian, antara maqamat dan
ahwal terdapat perbedaan yang tajam. Maqamat, demikian Sayyid Husain Nashr,
termasuk kategori tindakan-tindakan yang bertingkat dan memiliki pertalian satu
sama lain yang apabila telah tertransedensikan akan tetap menjadi milik yang
langgeng bagi seorang shufi yang telah melampauinya. Sedangkan ahwal termasuk
kategori anugerah Allah atas hati hamba-Nya dan bersifat sementara.
Kendatipun demikian, jika diamati
secara cermat kategori maqamat dan ahwal bukanlah dua kategori yang ketat,
karena ada kalanya seorang penulis kitab tasawuf memasukan suatu konsep ke
dalam kategori maqamat, sementara penulis yang lain memasukannya ke dalam
kategori ahwal. Di kalangan ulama tasawuf tidak ada kesepakatan mengenai hal
ini. Oleh karena itu, jumlah dan susunan maqamat berbeda bagi shufi yang satu
dengan shufi yang lain. Perbedaan ini nampaknya disebabkan oleh adanya
perbedaan pengalaman rohaniah yang ditempuh oleh masing-masing shufi. Sebagai
contoh misalnya al-Kalabadzi dalam kitabnya al-Ta’arruf li Madzhab Ahl
al-Thasawuf memberikan jumlah dan susunan sebagai berikut: al-taubat, al-zuhd,
al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridha, al-mahabbat,
dan al-ma-rifat.
Al-thusi menyebutkan dalam kitabnya
al-Luma’ sebagai berikut: al-taubat, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkul, dan al-ridha.
Al-Ghazali dalam kitab Ikhya ‘Ulum
al-Din menyebutkan: al-taubat, al-shabr, al-faqr, al-zuhd, al-tawakkul,
al-mahabbat, dan al-ridha.
Meskipun para ulama tasawuf berbeda
pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun secara umum maqamat itu meliputi:
al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha.
Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
1) Maqam taubat, disini seorang calon shufi harus
bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
2) Maqam Zuhd, yakni mengasingkan diri
dari dunia ramai.
3) Maqam wara’, yakni meninggalkan
hal-hal yang syuhbhat.
4) Maqam faqr, yakni hidup sebagai
orang fakir.
5) Maqam shabr, yakni harus sabar
menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
6) Makam tawakkul, yakni menyerahkan
sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
7) Maqam ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan
Allah, sehingga ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang calon shufi yang telah mampu
menempuh maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan
bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Hatinya tidak lagi tergoda dengan
kehidupan materi, melainkan ia hanya menuju ke hadirat Allah semata. Dengan
kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah Yang
Maha Suci tridak dapat di dekati kecuali oleh hamba-Nya yang suci.
Setelah hati seorang shufi menjadi
suci, maka hilanglah rasa benci kepada apa dan siapa pun, baik benci kepada
Allah maupun kepada makhluk-Nya. Yang tinggal di dalam hatinya hanyalah rasa
cinta kepada Allah (Mahabbat). Sebagaimana terlihat dari ucapan seorang shufi
yang termashur dalam mahabbat, Rabi’at al-'’Adawiyyat: “Oh kekasih hatiku, aku
tak akan memberikan cintaku kecuali kepada-Mu, oleh karena itu kasihanilah
pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu hari ini. Oh harapanku, kebahagiaanku,
dan kenikmatanku, hatiku tak dapat mencintai apapun kecuali Kau Satu (Allah).
Seorang shufi yang telah memiliki cinta kasih sejati kepada Allah, maka semakin
dekat denganNya. Sehingga tak mengherankan jika ia menghabiskan seluruh
waktunya untuk melakukan dzikr, tafakkur dan banyak beribadah kepadaNya, maka
ia pun diberi anugerah oleh Allah, yakni dibukakan tabir pemisah antara dirinya
dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah.
Sampai di sini berarti seorang shufi telah mencapai tingkat ma’rifat. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa ma’rifat adalah melihat atau
mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur al-ilahiyat).
2. Hubungan
Syari’ah Dan Tasawuf
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan
tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya
merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’ah mencerminkan
perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan
perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Aspek lahir dan aspek batin
keduanya tidak dapat dipisahkan, sebagaimana dikatakan al-Hujwiri bahwa aspek
lahir tanpa aspek bathin adalah kemunafikan, sebaliknya aspek bathin tanpa
aspek lahir adalah bid’ah.
Ungkapan di atas senada dengan
pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibn ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh
al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh,
karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh,
dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali
disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya
(tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan: Barangsiapa yang
bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan barangsiapa
yanj berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barangsiapa yang
mengamalkan keduanya, itulah orang yang ahli hakikat. Muhammad ibn ‘Allan dalam
kitab Dalil al Falihin menyebutkan Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan
syari’at dan mencuci kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat
mencapa haqiqat ( Muhammad ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, 1391 H:33).
Pendapat-pendapat ulama di atas sejalan
dengan ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali Menurut
al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan pengamalan
hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap pengamalan hakikat tidak didukung
dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan
sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat)
kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan
ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan:
Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah
menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan pendapat-pendapat di
atas, terlihat secara jelas bahwa antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan
yang sangat erat, keduanya tidak boleh dipidahkan.
Di sini timbul pertanyaan: Mengapa para
ulama memadukan antara syari’ah dan tasawuf? Padahal antara keduanya terdapat
perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Ahmad Amin yang telah disebutkan
dalam pendahuluan, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan
amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum shufi sebagai ahli haqiqat sangat
mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits
mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena
itu syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin. Namun
dalam perkembangan selanjutnya syari’ah yang mengandung kedua unsur baik ilmu
lahir maupun ilmu bathin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga
syari’ah lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu bathin dikembang ilmu
tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini
berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya,
yakni syari’ah yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan
logika akal dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat
ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam
mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut keterangan al-Ghazali sejak
abad ketiga Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan
ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi
ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya
masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu
disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan
sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu Kalam (ilmu Tauhid),
yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan
dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasaw uf).
Jika dilihat dari segi pengembangan
ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas
sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam
sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan
umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Sehingga
sering terjadi perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir
mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikan) di kalangan
umat Islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah
amal lahir atau amal bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau
amal bathin.
Barangkali atas dasar inilah para ulama
yang telah disebutkan di atas bermaksud untuk memadukan kembali antara syari’ah
dan tasawuf.